Sebab-sebab pluralitas (Mengapa Majemuk?)
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pluralitas masyarakat Indonesia :
Yang pertama, keadaan geografik wilayah Indonesia yang terdiri atas kurang
lebih tiga ribu pulau yang terserak di sepanjang equator kurang lebih tiga ribu
mil dari timur ke barat, dan seribu mil dari utara selatan, merupakan faktor
yang sangat besar pengaruhnya terhadap terjadinya pluralitas sukubangsa di
Indonesia.
Ketika
nenek moyang bangsa Indonesia yang sekarang ini mula-mula sekali datang secara
bergelombang sebagai emigran daru daerah yang kita kenal sebagai daerah
Tiongkok Selatan pada kira-kira dua ribu tahun sebelum masehi, keadaan
geografik serupa itu telah memaksa mereka harus tinggal menetap di daerah yang
terpisah-pisah satu sama lainnya. Isolasi geografik demikian di kemudian hari
mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau atau sebagian dari pulau di
Nusantara ini tumbuh menjadi kesatuan-kesatuan sukubangsa yang sedikit banyak
terisolasi dari kesatuan-kesatuan sukubangsa yang lain. Setiap kesatuan
sukubangsa terdiri atas sejumlah orang yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan
emosional, serta memandang diri mereka sebagai suatu jenis tersendiri.
Dengan perkecualian yang sangat kecil, satuan-satuan sosial itu mengembangkan
dan akhirnya memiliki bahasa dan warisan kebudayaan yang sama. Lebih dari itu,
mereka biasanya mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul
keturunan yang sama, suatu kepercayaan yang seringkali didukung oleh
mitos-mitos yang hidup dalam masyarakat.
Tentang
berapa jumlah suku bangsa yang sebenarnya ada di Indonesia, ternyata terdapat
berbagai pendapat yang tidak sama di antara para ahli ilmu kemasyarakatan.
Hildred Geertz misalnya menyebutkan adanya lebih kurang tiga ratus sukubangsa
di Indonesia, masing-masing dengan bahasa dan identitas kultural yang
berbeda-beda.
Skinner
menyebutkan adanya lebih dari 35 sukubangsa di Indonesia, masing-masing dengan
adat istiadat yang tidak sama. Lebih dari sekedar menyebutkan banyaknya
sukubangsa di Indonesia, Skinner menggambarkan juga perbandingan besarnya
sukubangsa-sukubangsa tersebut. Beberapa sukubangsa yang paling besar
sebagaimana disebut oleh Skinner adalah Jawa, Sunda, Madura, Mingangkabau, dan
Bugis. Kemudian ada beberapa sukubangsa yang lain yang cukup besar, yaitu
Bali, Batak Toba, dan Sumbawa. Buku Statistik Hindia Belanda menggambarkan
prosentasi sukubangsa di Indonesia pada tahun 1930, sebagai berikut.
- Jawa : 47.02 persen
- Sunda : 14,53 persen
- Madura : 7,28 persen
- Minangkabau : 3,36 persen
- Bugis : 2,59 persen
- Batak : 2,04 persen
- Bali : 1,88 persen
- Betawi: 1,66 persen
- Melayu: 1,61 persen
- Banjar : 1,52 persen
- Aceh: 1,41 persen
- Palembang: 1,30 persen
- Sasak: 1,12 persen
- Dayak: 1,10 persen
- Makasar: 1,09 persen
- Toraja: 0,94 persen
- lainnya : 9,54 persen.
Walaupun
angka tersebut dibuat pada waktu yang telah sangat lampau, tetapi melihat angka
kelahiran, angka kematian, atau angka pertumbuhan penduduk, mungkin hal
tersebut masih dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi saat ini.
Mengikuti
pengertian sukubangsa yang dikemukakan oleh para ahli antropologi, Dr. Nasikun
menggolongkan orang-orang Tionghoa sebagai salah satu sukubangsa di Indonesia,
dan berdasarkan laporan Biro Pusat Statistik, dan berdasarkan perkiraan
tambahan penduduk golongan Tionghoa 3 persen, serta dengan mengingat kurang
lebih 100.000 orang Tionghoa kembali ke Tiongkok selama tahun 1959 dan 1960,
diperkirakan jumlah orang Tionghoa yang tinggal di Indonesia pada tahun 1961
sebanyak 2,45 juta orang, sementara penduduk pribumi waktu itu diperkirakan
90.882 juta orang. Walaupun jumlah orang Tionghoa sangat kecil dibandingkan
dengan penduduk pribumi, tetapi mengingat kedudukan mereka yang sangat penting
dalam kehidupan ekonomi, mereka sangat mempengaruhi hubungan mereka dengan
sukubangsa-sukubangsa yang lain (yang secara keseluruhan disebut pribumi).
Faktor kedua yang menyebabkan pluralitas masayarakat Indonesia adalah
kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Samudera
Pasifik. Keadaan ini menjadikan Indonesia menjadi lalu lintas perdagangan,
sehingga sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam
masyarakat Indonesia.
Telah
sejak lama masyarakat Indonesia memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa
lain melalui para pedagang asing. Pengaruh yang pertama kali menyentuh
masyarakat Indonesia adalah agama Hindu dan Budha dari India sejak kurang lebih
empat ratus tahun sebelum masehi.
Hinduisme
dan Budhaisme pada waktu itu tersebar meliputi daerah yang cukup luas di
Indonesia, serta lebur bersama-sama dengan kebudayan asli yang telah hidup dan
berkembang lebih dulu. Namun, pengaruh Hindu dan Budaha terutama dirasakan di
Pulau Jawa dan Pulau Bali.
Pengaruh
kebudayaan Islam mulai memasuki masyarakat Indonesia sejak abad ke-13, akan
tetapi baru benar-benar mengalami proses penyebaran yang luas pada abad
ke-15. Pengaruh Islam sangat kuat terutama pada daerah-daerah di mana
Hindu dan Budha tidak tertanam cukup kuat. Karena keadaan yang demikian, cara
beragama yang sinkretik sangat terasakan, kepercayaan-kepercayaan animisme,
dinamisme bercampur dengan kepercayaan agama Hindu, Budha, dan Islam. Pengaruh
reformasi agama Islam yang memasuki Indonesia pada permulaan abad ke-17 dan
terutama akhir abad ke-19 ternyata tidak berhasil mengubah keadaan tersebut,
kecuali memperkuat pengaruh agama Islam di daerah-daerah yang sebelumnya memang
telah merupakan daerah pengaruh agama Islam. Sementara itu, Bali masih tetap
merupakan daerah agama Hindu.
Pengaruh
kebudayaan Barat mulai memasuki masyarakat Indonesia melalui kedatangan Bangsa
Portugis pada permulaan abad ke-16. Kedatangan mereka ke Indonesia
tertarik oleh kekayaan rempah-rempah di daerah Kepulauan Maluku, suatu jenis
barang dagangan yang sedang laku keras di Eropa pada waktu itu.
Kegiatan
missionaris yang menyertai kegiatan perdagangan mereka, dengan segera berhasil
menanamkan pengaruh agama Katholik di daerah tersebut. Ketika bangsa Belanda
berhasil mendesak bangsa Portugis ke luar dari daerah-daerah tersebut pada
kira-kira tahun 1600-an, maka pengaruh agama Katholik pun segera digantikan
pula oleh pengaruh agama Kristen Protestan. Namun demikian, sikap bangsa
Belanda yang lebih lunak di dalam soal agama apabila dibandingkan dengan bangsa
Portugis, telah mengakibatkan pengaruh agama Kristen Protestan hanya mampu memasuki
daerah-daerah yang sebelumnya tidak cukup kuat dipengaruhi oleh agama Islam dan
Hindu.
Hasil
fina dari semua pengaruh kebudayaan tersebut kita jumpai dalam bentuk
pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Di luar Jawa, hasilnya kita
lihat pada timbulnya golongan Islam modernis terutama di daerah-daerah yang
strategis di dalam jalur perdagangan internasional pada waktu masuknya
reformasi agama Islam, golongan Islam konservatif-tradisional di daerah
pedalaman-pedalaman, dan golongan Kristen (Katholik dan Protestan) di
daerah-daerah Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Tapanuli, dan
sedikit di daerah Kalimantan Tengah; serta golongan Hindu Bali (Hindu Dharma)
terutama di Bali.
Di
Pulau Jawa dijumpai golongan Islam modernis terutama di daerah-daerah pantai
Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan kebudayaan pantainya, serta sebagian
besar daerah Jawa Barat, golongan Islam konservatif-tradisional di
daerah-daerah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta golongan Kristen yang
tersebar di hampir setiap daerah perkotaan Jawa.
Faktor ketiga, iklim yang berbeda-beda dan
struktur yang tidak sama di antara berbagai daerah di kepulauan Nusantara,
telah mengakibatkan pluralitas regional. Perbedaan curah hujan dan kesuburan
tanah merupakan kondisi yang menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang
berbeda, yakni daerah pertanian basah (wet rice cultivation) yang
terutama banyak dijumpai di Pulau Jawa dan Bali, serta daerah ladang (shifting
cultivation) yang banyak dijumpai di luar Jawa.
Faktor
utama yang mendorong terbentuknya kemajemukan masy. Indonesia adalah :
1. Latar belakang historis
Adanya
perbedaan waktu dan jalur perjalanan ketika nenek moyang bangsa Indonesia
berpindah (migrasi) dari Yunan (Cina Selatan) ke pulau-pulau di Nusantara
2. Kondisi geografis
Perbedaan
kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau dengan relief
beranekaragam dan satu dengan lainnya dihubungkan oleh laut dangkal, melahirkan
suku bangsa yang beranekaragam pula, terutama pola kegiatan ekonomi dan perwujudan
kebudayaan yang dihasilkan untuk mendukung kegiatan ekonomi tersebut
3. Keterbukaan terhadap kebudayaan
luar
Bangsa
Indonesia adalah contoh bangsa yang terbuka. Hal ini dapat dilihat dari
besarnya pengaruh asing dalam membentuk keanekaragaman masyaarkat di seluruh
wilayah Indonesia yaitu antara lain pengaruh kebudayaan India, Cina, Arab dan
Eropa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar