Minggu, 18 Maret 2012

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial


Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Potensi dan Kesejahteraan Sosial (PSKS) Tahun 2009



  1. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya sehingga tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan, atau gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, ketunaan sosial, keterbelakangan, keterasingan/ketertinggalan, dan bencana alam maupun bencana sosial.
Saatini Kementerian Sosial menangani 22 jenis PMKS, yaitu sebagai berikut :
1.      Anak Balita Telantar, adalah anak yang berusia 0-4 tahun karena sebab tertentu, orang tuanya tidak dapat melakukan kewajibannya (karena beberapa kemungkinan : miskin/tidak mampu, salah seorang sakit, salah seorang/kedua-duanya, meninggal, anak balita sakit) sehingga terganggu kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangannya baik secara jasmani, rohani dan sosial.
2.      Anak Telantar,adalah anak berusia 5-18 tahun yang karena sebab tertentu, orang tuanya tidak dapat melakukan kewajibannya (karena beberapa kemungkinan seperti miskin atau tidak mampu, salah seorang dari orangtuanya atau kedua-duanya sakit, salah seorang atau kedua-duanya meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada pengasuh/pengampu) sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani dan sosial.
3.      Anak Nakal,adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang berperilaku menyimpang dari norma dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat,lingkungannya sehingga merugikan dirinya, keluarganya dan orang lain, serta mengganggu ketertiban umum, akan tetapi karena usia belum dapat dituntut secara hukum.
4.      Anak Jalanan,adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan berkeliaran di jalanan maupun tempat-tempat umum.
5.      Wanita Rawan Sosial Ekonomi,adalah seorang wanita dewasa berusia 18-59 tahun belum menikah atau janda dan tidak mempunyai penghasilan cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
6.      Korban Tindak Kekerasan, , adalah seseorang yang mengalami tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan terdekatnya, dan terancam baik secara fisik maupun non fisik.
7.      Lanjut Usia Telantar,adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
8.      Penyandang Cacat,adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan bagi dirinya untuk melakukan fungsi-fungsi jasmani, rohani maupun sosialnya secara layak, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental dan penyandang cacat fisik dan penyandang cacat mental.
9.      Tuna Susila,adalah seseorang yang melakukan hubungan seksual dangan sesama atau lawan jenis secara berulang-ulang dan bergantian diluar perkawinan yang sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang,materi atau jasa.
10.  Pengemis, adalah orang-orang yang mendapat penghasilan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dengan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain.
11.  Gelandangan, adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan yang tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum.
12.  Bekas Warga Binaan Lembaga Kemasyarakatan (BWBLK),adalah seseorang yang telah selesai atau dalam 3 bulan segera mengakhiri masa hukuman atau masa pidananya sesuai dengan keputusan pengadilan dan mengalami hambatan untuk menyesuaikan diri kembali dalam kehidupan masyarakat, sehingga mendapat kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan atau melaksanakan kehidupannya secara normal.
13.  Korban Penyalahgunaan NAPZA,adalah seseorang yang menggunakan narkotika, psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya termasuk minuman keras diluar tujuan pengobatan atau tanpa sepengetahuan dokter yang berwenang.
14.  Keluarga Fakir Miskin, adalah seseorang atau kepala keluarga yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan atau tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian akan tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga yang layak bagi kemanusiaan.
15.  Keluarga Berumah Tidak Layak Huni, adalah keluarga yang kondisi perumahan dan lingkungannya tidak memenuhi persyaratanyang layak untuk tempat tinggal baik secara fisik, kesehatan maupun sosial.
16.  Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis, adalah keluarga yang hubungan antar anggota keluarganya terutama antara suami -istri kurang serasi, sehingga tugas-tugas dan fungsi keluarga tidak dapat berjalan dengan wajar .
17.  Komunitas Adat Terpencil, adalah kelompok orang atau masyarakat yang hidup dalam kesatuan kesatuan sosial kecil yang bersifat lokal dan terpencil, dan masih sangat terikat pada sumber daya alam dan habitatnya secara sosial budaya terasing dan terbelakang dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya,sehingga memerlukan pemberdayaan dalam menghadapi perubahan lingkungan dalam arti luas.
18.  Korban Bencana Alam,adalah perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental maupun sosial ekonomi sebagai akibat dari terjadinya bencana alam yang menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.Termasuk dalam korban bencana alam adalah korban bencana gempa bumi tektonik, letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir, gelombang pasang atau tsunami,kencang, kekeringan, dan kebakaran hutan atau lahan, kebakaran permukiman, kecelakaan pesawat terbang, kereta api, perahu dan musibah industri (kecelakaan kerja).
19.  Korban Bencana Sosial atau Pengungsi, adalah perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental maupun sosial ekonomi sebagai akibat dari terjadinya bencana sosial kerusuhan yang menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
20.  Pekerja Migran Telantar, adalah seseorang yang bekerja di luar tempat asalnya dan menetap sementara di tempat tersebut dan mengalami permasalahan sosial sehingga menjadi telantar.
21.  Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), adalah seseorang yang dengan rekomendasi profesional (dokter) atau petugas laboratorium terbukti tertular virus HIV sehingga mengalami sindrom penurunan daya tahan tubuh (AIDS) dan hidup telantar.
22.  Keluarga Rentan, adalah keluarga muda yang baru menikah (sampai dengan lima tahun usia pernikahan) yang mengalami masalah sosial dan ekonomi (berpenghasilan sekitar 10% di atas garis kemiskinan) sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarga.
  1. Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS)
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) adalah potensi dan sumber yang ada pada manusia, alam dan institusi sosial yang dapat digunakan untuk usaha kesejahteraan sosial. Selanjutnya Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial meliputi :
1.      Pekerja Sosial Masyarakat (PSM),adalah warga masyarakat yang atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosial serta didorong oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial secara sukarela mengabdi di bidang Kesejahteraan Sosial.
2.      Organisasi Sosial, adalah suatu perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam melaksanakan Usaha Kesejahteraan Sosial
3.      Karang Taruna, adalah Organisasi Sosial Kepemudaan, wadah pengembangan generasi muda, yang tumbuh atas dasar kesadaran dan rasa tanggungjawab sosial dari, oleh, dan untuk masyarakat khususnya generasi muda di wilayah desa/kelurahan atau komunitas sosial sederajat, yang bergerak di bidang kesejahteraan sosial dan secara organisasi berdiri sendiri.
4.      Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat (WKSBM), adalah sistem kerja sama antar keperangkatan pelayanan sosial di akar rumput yang terdiri atas usaha kelompok, lembaga maupun jaringan pendukungnya. Wahana ini berupa jejaring kerja dari pada kelembagaan sosial komunitas lokal, baik yang tumbuh melalui proses alamiah dan tradisional maupun lembaga yang sengaja dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat pada tingkat lokal, sehingga dapat menumbuh kembangkan sinergi lokal dalam pelaksanaan tugas di bidang Usaha Kesejahteraan Sosial.
5.      Dunia Usaha yang Melakukan UKS, adalah organisasi komersial seluruh lingkungan industri dan produksi barang/jasa termasuk BUMN dan BUMD serta atau wirausahawan beserta jaringannya yang dapat melaksanakan tanggung jawab sosialnya.
  1. Sumber Data
Buku Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Tahun 2009 disusun dengan sumber data :
1.      Dinas/Instansi Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota, dengan; jenis PMKS : Anak Nakal, Anak Jalanan, Wanita Rawan Sosial Ekonomi,Korban Tindak Kekerasan, , Tuna Susila, Pengemis, Gelandangan, Bekas Warga Binaan Lembaga Kemasyarakatan (BWBLK), Korban Penyalahgunaan NAPZA, , Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis,Komunitas Adat Terpencil, Korban Bencana Alam, Korban Bencana Sosial atau Pengungsi, Pekerja Migran Telantar, Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), Keluarga Rentan.
2.      Dinas/Instansi Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota, dengan; 5 jenis PSKS yakni : Pekerja Sosial Masyarakat (PSM), Organisasi Sosial (Orsos) Karang Taruna (KT) Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat (WKSBM) Dunia Usaha (DU) yang Melakukan UKS.
3.      Penyandang Cacat dengan Klasifikasi International Classification of Funtioning (ICF) di 5 Provinsi : DKI Jakarta, Banten, DI.Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
4.      Badan Pusat Statistik ,dengan; jenis PMKS : anak balita Terlantar, anak terlantar, lanjut usia terlantar, rumah tangga tidak layak huni.









Sistem Perlindungan Sosial di Asean



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Hingga saat ini terdapat berbagai macam definisi perlindungan sosial dan jaminan sosial. Keragaman ini dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Berikut adalah beberapa dari sekian banyak definisi yang digunakan oleh berbagai institusi dan negara.
Asian Development Bank (ADB) menjelaskan bahwa perlindungan sosial pada dasarnya merupakan sekumpulan kebijakan dan program yang dirancang untuk menurunkan kemiskinan dan kerentanan melalui upaya peningkatan dan perbaikan kapasitas penduduk dalam melindungi diri mereka dari bencana dan kehilangan pendapatan.
Tidak berarti bahwa perlindungan sosial merupakan keseluruhan dari kegiatan pembangunan di bidang sosial, bahkan perlindungan sosial tidak termasuk upaya penurunan resiko (risk reduction). Lebih lanjut dijelaskan bahwa istilah jaring pengaman sosial (social safety net) dan jaminan sosial (social security) seringkali digunakan sebagai alternatif istilah perlindungan sosial, akan tetapi istilah yang lebih sering digunakan di dunia internasional adalah perlindungan sosial.
Asian Development Bank membagi perlindungan sosial ke dalam 5 (lima) elemen, yaitu:
1)      Pasar tenaga kerja (labor markets);
2)      Asuransi sosial (social insurance);
3)      Bantuan sosial (social assitance);
4)      Skema mikro dan area-based untuk perlindungan bagi komunitas setempat; dan
5)      Perlindungan anak (child protection).
Namun, menurut Bank Dunia dalam “World Bank Social Protection Strategy”, konsep yang digunakan oleh ADB dalam membagi perlindungan sosial tersebut masih tradisional. Bank Dunia mendefinisikan perlindungan sosial sebagai:
a.       Jejaring pengaman dan ‘spring board’;
b.      Investasi pada sumberdaya manusia;
c.       Upaya menanggulangi pemisahan sosial;
d.      Berfokus pada penyebab, bukan pada gejala; dan
e.       Mempertimbangkan keadaan yang sebenarnya.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Sistem Perlindungan Sosial

Perlindungan Sosial adalah seperangkat kebijakan dan program kesejahteraan sosial yang dirancang untuk mengurangi kemiskinan dan kerentanan (vulnerability) melalui perluasan pasar kerja yang efisien, pengurangan resiko-resiko kehidupan yang senantiasa mengancam manusia, serta penguatan kapasitas masyarakat dalam melindungi dirinya dari berbagai bahaya dan gangguan yang dapat menyebabkan terganggunya atau hilangnya pendapatan. 

ASEAN yang beranggotakan sepuluh negara (Brunei Darussalam, Cambodia, Laos, Myanmar, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, dan Viet Nam) memiliki karakteristik yang beragam, dilihat dari jumlah penduduk, luas wilayah, latar belakang ekonomi, budaya, maupun politiknya. Berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduknya, misalnya, ASEAN terdiri dari negara besar dan padat penduduk (Indonesia) hingga negara mini (Singapura). Secara ekonomi, ASEAN terentang dari negara kaya (Brunei Darussalam dan Singapura) hingga negara miskin (Camboja, Laos dan Myanmar).Akibatnya, kemampuan dan pengalaman negara-negara tersebut dalam menegakkan dan mengembangkan perlindungan sosial sangat beragam. 
Secara umum, pertumbuhan ekonomi di kawasan ini telah mampu menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi saja ternyata tidak mampu menjamin keberlanjutan penurunan kemiskinan. Kelompok-kelompok masyarakat baru yang rentan, seperti penganggur, pekerja migran, dan pekerja anak kini cenderung meningkat jumlahnya, terutama paska badai krisis Asia yang menerpa kawasan ini pada tahun 1997. Rendahnya investasi negara untuk jaminan sosial, misalnya, telah memperlemah ketahanan negara-negara di kawasan ini dalam menghadapi guncangan tiba-tiba yang ditimbulkan krisis ekonomi. 

2.2    Jenis Perlindungan Sosial di Asean
Kebijakan dan program perlindungan sosial, khususnya untuk konteks negara-negara di kawasan ASEAN, mencakup lima jenis. 
1.         Pertama, kebijakan pasar kerja (labour market policies) yang dirancang untuk memfasilitasi pekerjaan dan mempromosikan beroperasinya hukum penawaran dan permintaan kerja secara efisien. Sasaran utama skema ini adalah populasi angkatan kerja baik yang bekerja di sektor formal maupun informal, para penganggur, maupun setengah menganggur. Kebijakan ini umumnya terdiri dari kebijakan pasar kerja aktif dan pasif.
·   Kebijakan pasar kerja aktif mencakup penciptaan kesempatan kerja, peningkatan kapasitas SDM, mediasi antara pemberi dan pencari kerja.
·      Kebijakan pasar kerja pasif meliputi perbaikan sistem pendidikan, penetapan standar upah minimum, pembayaran pesangon bagi yang terkena PHK, keamanan dan keselamatan kerja.
2.         Kedua, bantuan sosial (social assistance), yakni program jaminan sosial (social security) yang berbentuk tunjangan uang, barang, atau pelayanan kesejahteraan yang umumnya diberikan  kepada populasi paling rentan yang tidak memiliki penghasilan yang layak bagi kemanusiaan. Skema ini umumnya diberikan kepada orang berdasarkan “test kemiskinan” tanpa memperhatikan kontribusi sebelumnya, seperti membayar pajak atau premi asuransi.
Keluarga miskin, penganggur, anak-anak, penyandang cacat, lanjut usia, orang dengan kecacatan fisik dan mental, kaum minoritas, yatim-piatu, kepala keluarga tunggal, pengungsi, dan korban konflik sosial adalah beberapa contoh kelompok sasaran bantuan sosial. Pelayanan sosial, subsidi tunai atau barang seperti Subsidi Langsung Tunai (SLT), kupon makanan (food stamp), subsidi temporer seperti tunjangan perumahan, ‘beras miskin’ (Raskin) dapat dikategorikan sebagai bantuan sosial.
3.         Ketiga, asuransi sosial (social insurance), yaitu skema jaminan sosial yang hanya diberikan kepada para peserta sesuai dengan kontribusinya berupa premi atau tabungan yang dibayarkannya. Asuransi kesehatan, asuransi tenaga kerja, asuransi kecelakaan kerja, asuransi kecacatan, asuransi hari tua, pensiun dan kematian adalah beberapa bentuk asuransi sosial yang banyak diterapkan di banyak negara.
4.         Keempat, jaring pengaman sosial berbasis masyarakat (community-based social safety nets). Dikenal dengan istilah ‘skema mikro dan berbasis wilayah’ (micro and area-based schemes), perlindungan sosial ini diarahkan untuk mengatasi kerentanan pada tingkat komunitas. Di Indonesia, misalnya, sejak berabad-abad lalu, masyarakatnya sudah kaya dengan budaya dan inisiatif lokal dalam merespon masalah dan kebutuhan rakyat kecil. Di perdesaan dan perkotaan, terdapat kelompok arisan, raksa desa, beas perelek, siskamling, kelompok pengajian, kelompok dana kematian yang secara swadaya, partisipatif, egaliter menyelenggarakan pelayanan sosial. Depsos menyebut sistem perlindungan sosial lokal ini dengan istilah Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat (WKSBM). Asuransi mikro seperti halnya ASKESOS (Asuransi Kesejahteraan Sosial)  yang dikembangkan Depsos, asuransi pertanian,  dan dana sosial (social funds)  juga dapat dimasukan dalam kategori jaring pengaman sosial berbasis masyarakat.
5.         Kelima, perlindungan anak (child protection). Selain struktur penduduk ASEAN berusia muda, persoalan sosial yang menimpa anak-anak juga semakin serius di kawasan ini. Kasus-kasus seperti penelantaran anak (child neglect), pekerja anak (child labour), perlakuan salah terhadap anak (child abuse) dan anak jalanan (street children) cenderung meningkat. Perlindungan anak ditujukan untuk menjamin perkembangan kualitas angkatan kerja dimasa depan yang sehat dan produktif. Program perlindungan anak mencakup pendidikan anak usia dini, beasiswa, pemberian makanan sehat di sekolah, perbaikan gizi dan imunisasi anak, dan tunjangan keluarga.
Apabila kelima elemen di atas diterapkan secara tepat, perlindungan sosial dapat memberikan kontribusi yang penting dalam penanggulangan kemiskinan. Sebagai bagian integral dari pembangunan kesejahteraan sosial, perlindungan sosial dapat membantu masyarakat dalam mematahkan lingkaran kemiskinan, karena mampu meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, investasi modal manusia, produktivitas, dan mengurangi kerentanan anggota masyarakat terhadap berbagai resiko.
2.3    Faktor Penyebab Kurang Efektifnya Penanganan SPS di ASEAN
Sebagian besar negara ASEAN telah memiliki beberapa bentuk sistem perlindungan sosial yang melembaga. Tetapi, kebijakan dan program perlindungan sosial masih dipandang kurang efektif dalam mengatasi problema kemiskinan. Faktor-faktor penyebabnya antara lain:
§  Pertama, terbatasnya cakupan, yakni hanya mencakup sebagian kecil penduduk yang ‘kaya dan umumnya bekerja di sektor formal.
§  Kedua, terbatasnya dana dan distribusinya kedalam program-program perlindungan sosial yang kurang tepat.
§  Ketiga, lemahnya instrumen dan mekanisme implementasi karena seringkali hanya dikopi dari negara-negara maju yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas negara yang bersangkutan.
§  Keempat, hambatan birokrasi seperti lemahnya perangkat dan penegakkan hukum, hambatan administrasi dan tidak transparansinya kepesertaan dan klaim. Masalah ini tidak jarang menghambat akses penduduk terhadap skema dan manfaat perlindungan sosial yang ditawarkan. 
2.4    Penanganan Untuk Memperkuat SPS di ASEAN
Ada beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk memperkuat sistem perlindungan sosial di ASEAN.
ü  Pertama, perlindungan sosial seharusnya sudah dirancang jauh sebelum sebuah krisis atau resiko menimpa penduduk sehingga mereka memiliki kesiapan yang cukup dalam menghadapi guncangan. 
ü  Kedua, masa kondisi ekonomi yang baik bisa dijadikan momentum untuk menghimpun dana yang cukup untuk menyiapkan dan merancang model dan mekanisme perlindungan sosial yang tepat.
ü Ketiga, negara-negara ASEAN dapat memilih berbagai skema perlindungan sosial sebagaimana yang telah diterapkan di negara lain, baik di dalam maupun luar kawasan ASEAN, tergantung kepada populasi sasaran dan kapasitas administrasi negara yang bersangkutan.
ü  Keempat, dalam memilih instrumen yang tepat, pemerintah di negara-negara ASEAN harus dapat menjamin bahwa skema tersebut mampu untuk :
a)    Memberi perlindungan yang adekuat terhadap penduduk miskin yang paling rentan;
b)     Mendorong pentargetan secara efisien;
c) Menghindari budaya ketergantungan pada penerima/peserta dengan membatasi besaran dan durasi pertanggungan;
d)     Sejalan dengan kebijakan makro ekonomi dan insentif fiskal; dan
e) Mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam desain program, implementasinya, serta penggunaan sumber-sumber pendanaan.





BAB III
PENUTUP

3. 1   Kesimpulan

Dari beberapa kebijakan atas program Jaminan Sosial, untuk kawasan ASEAN perlindungan sosial memprioritaskan tiga elemen utama yaitu :
1.     Asuransi Sosial
Program asuransi sosial diarahkan agar mampu menekan dampak resiko melalui pemberian tunjangan opendapatan (income support) ketika sakit, cacat, kecelakaan ketika bekerja, kelahiran, pengangguran, usia senja serta kematian. Skema ini didasarkan pada pendekatan konstibusi melalui pembayaran premi setiap tahunnya. Asuransi sosial mencakup asuransi kecelakaan di tempat kerja, pemberian pension, pemberian bantuan bagi kelompok cacat sebagian, asuransi kesehatan, asuransi kehamilan yang meloputi tunjangan selama masa kehamilan dan pasca melahirkan, asuransi hari tua dan sebagainya.
2.     Bantuan Sosial
Ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dengan cara memangkas kemiskinan secara langsung. Bantuan sosial berbentuk penyediaan pelayanan sosial dan kesejahteraan bagi kelompok rentan, pemberian bantuan berupa uang dan barang seperti kupon makan, dan tunjangan keluarga, serta pemberian subsidi sementara seperti subsidi perumahan atau kebijakan yang mendukung diturunkannya harga barang-barang pokok selama krisis. Desain program bantuan sosial yang efektif dan efisien, erat kaitannya dengan kemampuan menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan eligibility (kelayakan), penerima bantuan (misalnya batas usia maksimal penerima bantuan), entitlement yaitu hak yang seharusnya diperoleh penerima (misalnya seorang yang berada di bawah garis standar kebutuhan atau melalui means testing yakni tes kepemilikan atau kekayaan seseorang untuk menentukan berhak atau tidaknya seseorang memperoleh bantuan pemerintah dan penentuan target penerima bantuan), serta administration (seperti sistem peminjaman klaim dan hal yang berhubungan dengan sistem administrasi lainnya).
3.     Jaminan Kesejahteraan sosial berbasis masyarakat
Merupakan jenis perlindungan sosial yang ditujukan untuk melindungi komunitas di daerah tertentu serta mendorong tumbuhnya sektor ekonomi sebagai prasyarat keamanan sosial bagi mereka yang membutuhkan. Skema ini berfungsi sebagai pendamping program asuransi sosial, yang sasaran utamanya adalah kelompok tenaga kerja formal. Komunitas perdesaan dan perkotaan yang tidak memiliki kemampuan melindungi dirinya sendiri atas kemungkinan guncangan sosial yang terjadi, secara umum merupakan target utama jaminan kesejahteraan sosial (Jamkesos) berbasis masyarakat ini.




DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan Sosial, dan Pemberdayaan Perempuan. (2003). Makalah Sistem perlindungan sosial terpadu. Jakarta: BAPPENAS.
Suharto, Edi. (2006). Artikel dari Kementerian Sosial RI - Kerja Keras, Kerja Cerdas, Kerja Mawas, Kerja Selaras dan Kerja Tuntas : Memperkuat perlindungan sosial di ASEAN. Jakarta: Mensos.