Jumat, 27 April 2012

TRAFFICKING


BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang Penulisan

Pembangunan nasional telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Kemajuan pembangunan yang telah dicapai, didorong oleh kebijakan pembangunan di berbagai bidang, termasuk kebijakan di bidang ekonomi dan hukum yang tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Rencana Pembangunan Lima Tahun, serta berbagai kebijakan lainnnya. Namun, di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan serta tidak adanya kepastian dan keadilan hukum sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum dapat diwujudkan.

Peningkatan produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum belum diikuti langkah-langkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum. Terjadinya campur tangan dalam proses peradilan, serta tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum di Indonesia. Kondisi hukum yang demikian mengakibatkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia masih memprihatinkan yang terlihat dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia, antara lain dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi, dan kesewenang-wenangan. serta isu yang pada dasawarsa terakhir ini memperoleh sorotan luas baik di dalam negeri maupun luar negeri yaitu maraknya aktivitas perdagangan manusia (trafficking in persons).

Traffiking ialah salah satu bentuk masalah sosial yang memiliki dampak negatif sangat besar terhadap kondisi psikologi korban trafficking, para korban cenderung asosiatif serta banyak menimbulkan berbagai kesulitan lain yang lebih parah bagi hidupnya, sehingga kemudian terjadi benturan besar yang mampu membentuk prasangka sosial yang negative. Dan kemudian dengan kefrustasiannya, masalah trafficking ini menjelma kedalam tindakan-tindakan diskriminatif, dan terlampau agresif



BAB II
PEMBAHASAN

2. 1   Apa Itu Perdagangan Anak?
Perdagangan anak didefinisikan oleh ODCCP (Office for Drug Control and Crime Prevention) sebagai perekrutan, pemindahan, pengiriman, penempatan atau menerima anak-anak di bawah umur untuk tujuan eksploitasi dan itu menggunakan ancaman, kekerasan, ataupun pemaksaan lainnya seperti penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan wewenang maupun posisi penting. Juga memberi atau menerima uang atau bantuan untuk mendapatkan persetujuan dari orang yang menguasai penuh atas anak itu. Perdagangan anak biasanya bertujuan:
1.      Eksploitasi untuk pekerjaan (termasuk perbudakan dan tebusan),
2.      Eksploitasi seksual (termasuk prostitusi dan pornografi anak),
3.      Eksploitasi untuk pekerjaan ilegal (seperti mengemis dan perdagangan obat terlarang),
4.      Perdagangan adopsi,
5.      Perjodohan.
Perdagangan anak terjadi akibat konvensi internasional atas penindasan wanita dan anak-anak yang diselenggarakan pada tanggal 30 September 1921. Alasan lain adalah eksploitasi seksual atas anak-anak melalui sejumlah alasan hukum yang dapat dikenakan hukuman. (kekerasan seksual pada anak, pornografi anak, perdagangan manusia, dll.)
Istilah “Child Trafficking” atau perdagangan anak, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2007, dapat diartikan sebagai:
Perdagangan manusia adalah segala tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dan orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
2.2   Beberapa Faktor Pendorong Child Trafficking
1.      Pendidikan yang Kurang
Seperti yang tertera di buku Penanggulang Perdagangan Perempuan dan Anak, 2004, “Korban yang biasanya adalah perempuan atau gadis desa dengan pendidikan rendah sering kali tidak menyadari tanda-tanda bahaya dari perdagangan, atau tidak dilengkapi dengan keterampilan, pengetahuan, dan sumber daya untuk bermigrasi dengan aman.” Kurangnya pendidikan bagi anak-anak merupakan masalah yang paling utama yang mengakibatkan anak-anak terlibat dalam perdagangan anak.
Menurut Statistik Indonesia di tahun 2004, anak-anak yang berumur 10 – 14 tahun, tertera bahwa 93,34 persen masih sekolah. Tetapi golongan anak yang berumur 15-19 tahun tertera bahwa hanya 52,77 persen saja yang melanjuti sekolah dan sekitar 47 persen lainnya tidak melanjutkan sekolah.

2.      Kemiskinan (atau status ekonomi keluarga)
Faktor kedua yang mempengaruhi perdagangan anak di Indonesia adalah faktor kemiskinan. Statistik Indonesia di tahun 2004 menyatakan bahwa ada 11 juta orang Indonesia yang miskin atau 12,13 persen dari seluruh penduduk Indonesia yang masih hidup dalam kemiskinan. Karena mereka hidup dalam kemiskinan maka,  “kelompok keluarga miskin biasanya mengerahkan seluruh tenaga kerja keluarga termasuk anak-anak untuk memperoleh penghasilan” (Haryadi dan  Tjandraningsih, 1995). Kebanyakan anak-anak yang harus bekerja tidak punya pilihan lain untuk membantu keluarganya karena mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan atau memperbaiki ekonomi keluarga mereka masing-masing.
Anak-anak dan keluarga yang mempunyai resiko lebih tinggi untuk terlibat dalam child trafficking juga menjadi satu faktor yang yang mendorong adanya child trafficking (Rafferty, 2007). Dengan hanya menganalisis dari dua faktor yang ada diatas, prediktor yang paling kuat adalah anak yang berumur diantara 12 sampai 16 tahun, wanita, dan hidup di daerah pedalaman atau pedesaan dikarenakan pada umumnya mereka mempunyai pendidikan yang kurang, keahlian kerja yang minim dan hidup dalam kemiskinan.

3.      Diskriminasi Gender
Diskriminasi gender juga berkontribusi dalam faktor yang mengakibatkan adanya child trafficking. Dengan adanya diskriminasi gender, anak-anak perempuan mempunyai peluang yang minim untuk mendapatkan edukasi yang layak atau pekerjaan-pekerjaan lainnya (Rafferty, 2007) seperti yang diterima oleh anak laki-laki.
Studi Profil Gender Nasional tahun 2006 menunjukkan bahwa “untuk pendidikan tidak tamat SD, presentasenya lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki (28 persen berbanding 30 persen). Presentase untuk anak-anak yang tamat SD pun masih lebih tinggi untuk perempuan (32 persen) daripada laki-laki. Kebanyakan anak-anak perempuan itu terlibat dalam pernikahan di usia yag sangat muda dan mengakibatkan mereka untuk putus sekolah.

4.      Permintaan dari Pedagang (Traffickers)
Faktor yang terakhir adalah faktor permintaan dari child traffickers itu sendiri. Banyak traffickers dari luar negeri yang datang menipu orang tua yang pada akhirnya mengajak anak-anaknya untuk ditukar sebagai alat untuk membayar hutang atau menjanjikan pekerjaan yang benar dan layak. Seperti yang terjadi di negara Thailand, pekerja seksual anak sangat terkenal dan dijadikan satu aktivitas untuk turisme dari luar negeri.
Karena besarnya permintaan tersebut, maka banyak anak-anak yang diperdagangkan demi sex tourismeini. Ironisnya, faktor permintaan ini pun pada akhirnya melibatkan aparat-aparat militer atau kepolisian dari negara itu sendiri untuk membantu dalam memperdagangkan anak-anak untuk menjadi pekerja seksual.

2.3   Bagaimana Pelaku Melakukan Perdagangan?
Trafiking, menurut ICMC/ACIL tidak hanya merampas hak asasi tapi juga membuat mereka rentan terhadap pemukulan, penyakit, trauma dan bahkan kematian. Pelaku trafiking menipu, mengancam, mengintimidasi dan melakukan tindak kekerasan untuk menjerumuskan korban ke dalam prostitusi.

Pelaku trafficking menggunakan berbagai teknik untuk menanamkan rasa takut pada korban supaya bisa terus diperbudak oleh mereka. Beberapa cara yang digunakan oleh para trafficker untuk menjalankan aksinya :
a.       Menahan gaji agar korban tidak memiliki uang untuk melarikan diri,
b.      Menahan paspor, visa dan dokumen penting lainnya agar korban tidak dapat bergerak leluasa karena takut ditangkap polisi,
c.       Memberitahu korban bahwa status mereka ilegal dan akan dipenjara serta dideportasi jika mereka berusaha kabur,
d.      Mengancam akan menyakiti korban dan/atau keluarganya,
e.       Membatasi hubungan dengan pihak luar agar korban terisolasi dari mereka yang dapat menolong,
f.       Membuat korban tergantung pada pelaku trafiking dalam hal makanan, tempat tinggal, komunikasi jika mereka di tempat di mana mereka tidak paham bahasanya, dan dalam “perlindungan” dari yang berwajib, dan
g.      Memutus hubungan antara pekerja dengan keluarga dan teman.

2.4   Upaya Pencegahan Child Trafficking
Dalam upaya pencegahan child trafficking, ada banyak pihak yang harus dilibatkan. Pihak-pihak yang harus dilibatkan selain anak-anak itu sendiri adalah keluarga anak tersebut, para pendidik, komunitas masyarakat luas dan organisasi pemerintah maupun non-pemerintah.
1.      Pihak Keluarga atau Orangtua
Peningkatan kesadaran sangat diperlukan untuk keluarga atau orang tua dari anak-anak itu sendiri. Dari satu studi tentang trafficking, diketahui bahwa salah satu hal yang mendorong seorang anak untuk terlibat di trafficking adalah kemauan orang tua mereka sendiri (Rafferty, 2007). Orang tua mereka sering memperkerjakan anaknya demi penghasilan agar membantu beban orang tua. Dengan adanya fakta ini, salah satu pencegahan terhadap trafficking harus difokuskan untuk anggota keluarga selain anak-anak itu sendiri. Peningkatan kesadaran ini bisa dilakukan dengan mengadakan workshop untuk anggota keluarga yang menginformasikan bahwa ada jalan lain yang dapat membantu mereka untuk mencari kerja di tempat yang lebih aman sesuai umur mereka masing.
Workshop ini sangat penting demi membangun atau merubah pola piker daripada orang tua. Lewat workshop ini diharapkan orang tua dari keluarga anak dapat mengerti bahwa keterlibatan mereka dengan trafficking bisa berbahaya, dan anak pun dapat hidup sebagai anak selayaknya. Upaya lain yang menyangkut pihak keluarga atau orang tua adalah dengan membantu meningkatkan perekonomian keluarga, sehingga sang anak tidak harus mencari pekerjaan untuk membantu keluarganya. Orang tua yang tidak bekerja bisa dibantu untuk dicarikan pekerjaan ataupun diikuti pelatihan-pelatihan dari workshop-workshop yang ada agar bisa memiliki keahlian untuk mendapatkan pekerjaan.
2.      Pendidik
Pencegahan terhadap trafficking tidak hanyalah terfokus kepada pihak yang langsung terlibat, melainkan untuk membantu pencegahan trafficking yang dini, pihak pendidik dari sekolah dapat ikut berkontribusi. Seperti yang telah dilakukan oleh YKAI; yayasan ini telah membentuk suatu modul pelatihan yang akan diimplementasikan untuk para guru di sekolah. Modul ini adalah salah satu bentuk wadah untuk para guru agar mereka bisa belajar lebih lanjut tentang trafficking dah bahayanya. Dengan pelatihan yang diadakan untuk para guru, guru-guru tersebut akan bisa lebih berusaha untuk mengajak anak muridnya untuk tidak putus sekolah dan berakhir dengan terlibatnya mereka dengan trafficking. Objektif lain dari pelatihan untuk para guru ini adalah para guru bisa membuat kurikulum di sekolah agar lebih menarik perhatian anak-anak. Dengan program ini, para guru yang tadinya tidak terlampau memperhatikan anak-anak yang absen atau putus sekolah, sekarang para guru itu mendatangi keluarga anak yang absen dan putus sekolah.
Salah satu penyebab adanya child trafficking adalah tingginya jumlah anak-anak di daerah yang putus sekolah. Menurut A. Bequele dan J. Boyden (1988), pendidik mungkin tidak terlatih dengan baik dan terlalu banyak pekerjaan yang ditambah dengan sekolah-sekolah yang tidak mempunyai infrastruktur yang cukup dan kurikulum sekolah tersebut tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan anak-anak. Maka dari itu pendidikan berperan sangat tinggi dalam memerangi trafficking sehingga anak-anak diharapkan untuk tetap sekolah dan mendapatkan pendidikan yang terbaik.
3.      Masyarakat Luas
Hal yang paling utama dalam upaya pencegahan child trafficking adalah meningkatkan kesadaran bagi anak-anak dan masyarakat luas. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara menggunakan media seperti poster, koran, makalah, radio dan televisi. Menurut Baquele and Myers (1995), cara yang paling efektif untuk memberikan pesan informatif ke masyarakat adalah lewat media. Beberapa daerah di Indonesia telah mengimplementasikan poster-poster yang berpesan tentang bahaya dari trafficking. Poster-poster tersebut sebaiknya disesuaikan dengan kultur dari daerah-daerah tersebut; seperti dengan mengganti bahasa pesan tersebut dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah yang mudah dimengerti oleh penduduk lokal.
4.      Organisasi Pemerintah
Pihak lain yang bisa membantu dalam pencegahan trafficking adalah dari pemerintah daerah tersebut. Pemerintah daerah harus mempunyai hukum-hukum yang menyangkut trafficking. Pemerintah daerah juga harus mempunyai metode khusus dalam menangani pencegahan trafficking tersebut. Seperti yang ada di studi kasus UNICEF dan UNGEI (2007), pemerintah daerah bisa membantu pencegahan dengan cara bagi wanita-wanita yang akan bekerja di luar daerah tersebut harus memberi surat rekomendasi dari tempat kerja yang dituju terlebih dahulu. Pemerintah daerah juga harus menekankan kembali wajib belajar sembilan tahun untuk anak-anak. Dalam upaya mengurangi jumlah anak-anak yang terlibat di child trafficking, pemerintah daerah juga harus bekerja sama dengan anak-anak tersebut, warga setempat, pendidik dan pekerja sosial untuk menciptakan program-program atau acara-acara yang melibatkan sang anak untuk menjadi lebih produktif dan sekaligus memenuhi hak mereka sebagai anak.
5.      Organisasi non-Pemerintah
Untuk organisasi non-pemerintah, mereka harus bekerja sama dengan masyarakat luas untuk membuat program-program yang membantu untuk mengurangi jumlah anak yang putus sekolah atau pekerja anak. Contoh dari program adalah Perpustakaan Keliling yang menjadi salah satu kegiatan rutin YKAI. Apabila anak tidak mampu membayar uang sekolah, salah satu cara bagi organisasi non-pemerintah untuk membantu anak-anak agar bisa melanjutkan sekolah adalah dengan cara mengikuti sekolah terbuka. Bagi anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah setelah menyelesaikan wajib sembilan tahun sekolah, anak-anak tersebut bisa ikut berpartisipasi dalam sanggar-sanggar yang telah dibuat untuk membantu anak itu siap mencari pekerjaan. Hal-hal yang diajarkan di sanggar tersebut antara lain adalah kursus komputer dan bahasa Inggris. Dengan mengikuti program-program di sanggar, anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah bisa tetap mendapatkan kesempatan untuk mencari pekerjaan yang layak baginya.




BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari semua program-program yang digunakan untuk mencegah adanya child trafficking, tidak semuanya berjalan sesuai rencana dan masih banyak lagi yang perlu di perhatikan ulang. Sebagai contoh, poster-poster atau leaflet yang telah dibagikan ke masyarakat di daerah sering kali tidak menjadi efektif dikarenakan masih banyak penduduk di daerah tersebut yang masih buta huruf atau tidak bisa membaca. Masalah lain dalam menjalankan program pencegahan ini adalah kurangnya dukungan finansial yang mengakibatkan satu dari sanggar-sanggar yang telah dibangun ditutup.





DAFTAR PUSTAKA

  Syafaat, Rachmad. Dagang Manusia ; Kajian Trafficking terhadap perempuan dan Anak di Jawa Timur. Yogyakarta : LAPPERA PUATAKA UTAMA, 2003
  Gerungan. Psikologi Sosial. Bandung : PT Refika Aditama, 2004
                                                                             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar