BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Penulisan
Pembangunan
nasional telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya
kesejahteraan rakyat. Kemajuan pembangunan yang telah dicapai, didorong oleh
kebijakan pembangunan di berbagai bidang, termasuk kebijakan di bidang ekonomi
dan hukum yang tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Rencana
Pembangunan Lima Tahun, serta berbagai kebijakan lainnnya. Namun, di pihak lain
tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat
hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan serta tidak adanya kepastian dan
keadilan hukum sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum dapat diwujudkan.
Peningkatan
produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum belum
diikuti langkah-langkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak
hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum. Terjadinya campur tangan dalam
proses peradilan, serta tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan
terjadinya krisis hukum di Indonesia. Kondisi hukum yang demikian mengakibatkan
perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia masih
memprihatinkan yang terlihat dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia,
antara lain dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi, dan
kesewenang-wenangan. serta isu yang pada
dasawarsa terakhir ini memperoleh sorotan luas baik di dalam negeri maupun luar
negeri yaitu maraknya aktivitas perdagangan manusia (trafficking in persons).
Traffiking ialah
salah satu bentuk masalah sosial yang memiliki dampak negatif sangat besar
terhadap kondisi psikologi korban trafficking, para korban cenderung asosiatif
serta banyak menimbulkan berbagai kesulitan lain yang lebih parah bagi
hidupnya, sehingga kemudian terjadi benturan besar yang mampu membentuk
prasangka sosial yang negative. Dan kemudian dengan kefrustasiannya, masalah
trafficking ini menjelma kedalam tindakan-tindakan diskriminatif, dan terlampau
agresif
BAB II
PEMBAHASAN
2.
1 Apa Itu Perdagangan Anak?
Perdagangan anak didefinisikan oleh
ODCCP (Office for Drug Control and Crime Prevention) sebagai perekrutan,
pemindahan, pengiriman, penempatan atau menerima anak-anak di bawah umur untuk
tujuan eksploitasi dan itu menggunakan ancaman, kekerasan, ataupun pemaksaan
lainnya seperti penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan wewenang
maupun posisi penting. Juga memberi atau menerima uang atau bantuan untuk
mendapatkan persetujuan dari orang yang menguasai penuh atas anak itu. Perdagangan
anak biasanya bertujuan:
1. Eksploitasi
untuk pekerjaan (termasuk perbudakan dan tebusan),
2. Eksploitasi
seksual (termasuk prostitusi dan pornografi anak),
3. Eksploitasi
untuk pekerjaan ilegal (seperti mengemis dan perdagangan obat terlarang),
4. Perdagangan
adopsi,
5. Perjodohan.
Perdagangan
anak terjadi akibat konvensi internasional atas penindasan wanita dan anak-anak
yang diselenggarakan pada tanggal 30 September 1921. Alasan lain adalah
eksploitasi seksual atas anak-anak melalui sejumlah alasan hukum yang dapat
dikenakan hukuman. (kekerasan seksual pada anak, pornografi anak, perdagangan
manusia, dll.)
Istilah
“Child Trafficking” atau perdagangan anak, menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 tahun 2007, dapat diartikan sebagai:
Perdagangan
manusia adalah segala tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dan orang yang memegang
kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun
antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
2.2
Beberapa Faktor Pendorong Child Trafficking
1. Pendidikan
yang Kurang
Seperti yang tertera di
buku Penanggulang Perdagangan Perempuan dan Anak, 2004, “Korban yang biasanya
adalah perempuan atau gadis desa dengan pendidikan rendah sering kali tidak
menyadari tanda-tanda bahaya dari perdagangan, atau tidak dilengkapi dengan
keterampilan, pengetahuan, dan sumber daya untuk bermigrasi dengan aman.”
Kurangnya pendidikan bagi anak-anak merupakan masalah yang paling utama yang
mengakibatkan anak-anak terlibat dalam perdagangan anak.
Menurut Statistik
Indonesia di tahun 2004, anak-anak yang berumur 10 – 14 tahun, tertera bahwa
93,34 persen masih sekolah. Tetapi golongan anak yang berumur 15-19 tahun
tertera bahwa hanya 52,77 persen saja yang melanjuti sekolah dan sekitar 47
persen lainnya tidak melanjutkan sekolah.
2. Kemiskinan
(atau status ekonomi keluarga)
Faktor kedua yang
mempengaruhi perdagangan anak di Indonesia adalah faktor kemiskinan. Statistik
Indonesia di tahun 2004 menyatakan bahwa ada 11 juta orang Indonesia yang
miskin atau 12,13 persen dari seluruh penduduk Indonesia yang masih hidup dalam
kemiskinan. Karena mereka hidup dalam kemiskinan maka, “kelompok keluarga miskin biasanya
mengerahkan seluruh tenaga kerja keluarga termasuk anak-anak untuk memperoleh
penghasilan” (Haryadi dan Tjandraningsih,
1995). Kebanyakan anak-anak yang harus bekerja tidak punya pilihan lain untuk
membantu keluarganya karena mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan
pekerjaan atau memperbaiki ekonomi keluarga mereka masing-masing.
Anak-anak dan keluarga
yang mempunyai resiko lebih tinggi untuk terlibat dalam child trafficking juga
menjadi satu faktor yang yang mendorong adanya child trafficking (Rafferty,
2007). Dengan hanya menganalisis dari dua faktor yang ada diatas, prediktor yang
paling kuat adalah anak yang berumur diantara 12 sampai 16 tahun, wanita, dan
hidup di daerah pedalaman atau pedesaan dikarenakan pada umumnya mereka
mempunyai pendidikan yang kurang, keahlian kerja yang minim dan hidup dalam
kemiskinan.
3. Diskriminasi
Gender
Diskriminasi gender
juga berkontribusi dalam faktor yang mengakibatkan adanya child trafficking.
Dengan adanya diskriminasi gender, anak-anak perempuan mempunyai peluang yang
minim untuk mendapatkan edukasi yang layak atau pekerjaan-pekerjaan lainnya
(Rafferty, 2007) seperti yang diterima oleh anak laki-laki.
Studi Profil Gender
Nasional tahun 2006 menunjukkan bahwa “untuk pendidikan tidak tamat SD,
presentasenya lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki (28 persen
berbanding 30 persen). Presentase untuk anak-anak yang tamat SD pun masih lebih
tinggi untuk perempuan (32 persen) daripada laki-laki. Kebanyakan anak-anak
perempuan itu terlibat dalam pernikahan di usia yag sangat muda dan
mengakibatkan mereka untuk putus sekolah.
4. Permintaan
dari Pedagang (Traffickers)
Faktor yang terakhir
adalah faktor permintaan dari child traffickers itu sendiri. Banyak traffickers
dari luar negeri yang datang menipu orang tua yang pada akhirnya mengajak
anak-anaknya untuk ditukar sebagai alat untuk membayar hutang atau menjanjikan
pekerjaan yang benar dan layak. Seperti yang terjadi di negara Thailand,
pekerja seksual anak sangat terkenal dan dijadikan satu aktivitas untuk turisme
dari luar negeri.
Karena besarnya
permintaan tersebut, maka banyak anak-anak yang diperdagangkan demi sex
tourismeini. Ironisnya, faktor permintaan ini pun pada akhirnya melibatkan
aparat-aparat militer atau kepolisian dari negara itu sendiri untuk membantu
dalam memperdagangkan anak-anak untuk menjadi pekerja seksual.
2.3 Bagaimana Pelaku Melakukan Perdagangan?
Trafiking,
menurut ICMC/ACIL tidak hanya merampas hak asasi tapi juga membuat mereka
rentan terhadap pemukulan, penyakit, trauma dan bahkan kematian. Pelaku
trafiking menipu, mengancam, mengintimidasi dan melakukan tindak kekerasan
untuk menjerumuskan korban ke dalam prostitusi.
Pelaku
trafficking menggunakan berbagai teknik untuk menanamkan rasa takut pada korban
supaya bisa terus diperbudak oleh mereka. Beberapa cara yang digunakan oleh
para trafficker untuk menjalankan aksinya :
a. Menahan
gaji agar korban tidak memiliki uang untuk melarikan diri,
b. Menahan
paspor, visa dan dokumen penting lainnya agar korban tidak dapat bergerak
leluasa karena takut ditangkap polisi,
c. Memberitahu
korban bahwa status mereka ilegal dan akan dipenjara serta dideportasi jika
mereka berusaha kabur,
d. Mengancam
akan menyakiti korban dan/atau keluarganya,
e. Membatasi
hubungan dengan pihak luar agar korban terisolasi dari mereka yang dapat
menolong,
f. Membuat
korban tergantung pada pelaku trafiking dalam hal makanan, tempat tinggal,
komunikasi jika mereka di tempat di mana mereka tidak paham bahasanya, dan
dalam “perlindungan” dari yang berwajib, dan
g. Memutus
hubungan antara pekerja dengan keluarga dan teman.
2.4
Upaya Pencegahan Child Trafficking
Dalam
upaya pencegahan child trafficking, ada banyak pihak yang harus dilibatkan.
Pihak-pihak yang harus dilibatkan selain anak-anak itu sendiri adalah keluarga
anak tersebut, para pendidik, komunitas masyarakat luas dan organisasi
pemerintah maupun non-pemerintah.
1. Pihak
Keluarga atau Orangtua
Peningkatan kesadaran sangat diperlukan
untuk keluarga atau orang tua dari anak-anak itu sendiri. Dari satu studi
tentang trafficking, diketahui bahwa salah satu hal yang mendorong seorang anak
untuk terlibat di trafficking adalah kemauan orang tua mereka sendiri
(Rafferty, 2007). Orang tua mereka sering memperkerjakan anaknya demi
penghasilan agar membantu beban orang tua. Dengan adanya fakta ini, salah satu
pencegahan terhadap trafficking harus difokuskan untuk anggota keluarga selain
anak-anak itu sendiri. Peningkatan kesadaran ini bisa dilakukan dengan
mengadakan workshop untuk anggota keluarga yang menginformasikan bahwa ada
jalan lain yang dapat membantu mereka untuk mencari kerja di tempat yang lebih aman
sesuai umur mereka masing.
Workshop ini sangat penting demi
membangun atau merubah pola piker daripada orang tua. Lewat workshop ini
diharapkan orang tua dari keluarga anak dapat mengerti bahwa keterlibatan
mereka dengan trafficking bisa berbahaya, dan anak pun dapat hidup sebagai anak
selayaknya. Upaya lain yang menyangkut pihak keluarga atau orang tua adalah
dengan membantu meningkatkan perekonomian keluarga, sehingga sang anak tidak
harus mencari pekerjaan untuk membantu keluarganya. Orang tua yang tidak
bekerja bisa dibantu untuk dicarikan pekerjaan ataupun diikuti
pelatihan-pelatihan dari workshop-workshop yang ada agar bisa memiliki keahlian
untuk mendapatkan pekerjaan.
2. Pendidik
Pencegahan terhadap trafficking tidak
hanyalah terfokus kepada pihak yang langsung terlibat, melainkan untuk membantu
pencegahan trafficking yang dini, pihak pendidik dari sekolah dapat ikut
berkontribusi. Seperti yang telah dilakukan oleh YKAI; yayasan ini telah
membentuk suatu modul pelatihan yang akan diimplementasikan untuk para guru di
sekolah. Modul ini adalah salah satu bentuk wadah untuk para guru agar mereka
bisa belajar lebih lanjut tentang trafficking dah bahayanya. Dengan pelatihan
yang diadakan untuk para guru, guru-guru tersebut akan bisa lebih berusaha
untuk mengajak anak muridnya untuk tidak putus sekolah dan berakhir dengan
terlibatnya mereka dengan trafficking. Objektif lain dari pelatihan untuk para
guru ini adalah para guru bisa membuat kurikulum di sekolah agar lebih menarik
perhatian anak-anak. Dengan program ini, para guru yang tadinya tidak terlampau
memperhatikan anak-anak yang absen atau putus sekolah, sekarang para guru itu
mendatangi keluarga anak yang absen dan putus sekolah.
Salah satu penyebab adanya child
trafficking adalah tingginya jumlah anak-anak di daerah yang putus sekolah.
Menurut A. Bequele dan J. Boyden (1988), pendidik mungkin tidak terlatih dengan
baik dan terlalu banyak pekerjaan yang ditambah dengan sekolah-sekolah yang
tidak mempunyai infrastruktur yang cukup dan kurikulum sekolah tersebut tidak
sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan anak-anak. Maka dari itu pendidikan
berperan sangat tinggi dalam memerangi trafficking sehingga anak-anak
diharapkan untuk tetap sekolah dan mendapatkan pendidikan yang terbaik.
3. Masyarakat
Luas
Hal yang paling utama dalam upaya
pencegahan child trafficking adalah meningkatkan kesadaran bagi anak-anak dan
masyarakat luas. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan cara menggunakan media
seperti poster, koran, makalah, radio dan televisi. Menurut Baquele and Myers
(1995), cara yang paling efektif untuk memberikan pesan informatif ke
masyarakat adalah lewat media. Beberapa daerah di Indonesia telah
mengimplementasikan poster-poster yang berpesan tentang bahaya dari
trafficking. Poster-poster tersebut sebaiknya disesuaikan dengan kultur dari
daerah-daerah tersebut; seperti dengan mengganti bahasa pesan tersebut dari
bahasa Indonesia ke bahasa daerah yang mudah dimengerti oleh penduduk lokal.
4. Organisasi
Pemerintah
Pihak lain yang bisa membantu dalam
pencegahan trafficking adalah dari pemerintah daerah tersebut. Pemerintah
daerah harus mempunyai hukum-hukum yang menyangkut trafficking. Pemerintah
daerah juga harus mempunyai metode khusus dalam menangani pencegahan
trafficking tersebut. Seperti yang ada di studi kasus UNICEF dan UNGEI (2007), pemerintah
daerah bisa membantu pencegahan dengan cara bagi wanita-wanita yang akan
bekerja di luar daerah tersebut harus memberi surat rekomendasi dari tempat
kerja yang dituju terlebih dahulu. Pemerintah daerah juga harus menekankan
kembali wajib belajar sembilan tahun untuk anak-anak. Dalam upaya mengurangi
jumlah anak-anak yang terlibat di child trafficking, pemerintah daerah juga
harus bekerja sama dengan anak-anak tersebut, warga setempat, pendidik dan
pekerja sosial untuk menciptakan program-program atau acara-acara yang
melibatkan sang anak untuk menjadi lebih produktif dan sekaligus memenuhi hak
mereka sebagai anak.
5. Organisasi
non-Pemerintah
Untuk organisasi non-pemerintah, mereka
harus bekerja sama dengan masyarakat luas untuk membuat program-program yang
membantu untuk mengurangi jumlah anak yang putus sekolah atau pekerja anak.
Contoh dari program adalah Perpustakaan Keliling yang menjadi salah satu
kegiatan rutin YKAI. Apabila anak tidak mampu membayar uang sekolah, salah satu
cara bagi organisasi non-pemerintah untuk membantu anak-anak agar bisa
melanjutkan sekolah adalah dengan cara mengikuti sekolah terbuka. Bagi
anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah setelah menyelesaikan wajib
sembilan tahun sekolah, anak-anak tersebut bisa ikut berpartisipasi dalam
sanggar-sanggar yang telah dibuat untuk membantu anak itu siap mencari
pekerjaan. Hal-hal yang diajarkan di sanggar tersebut antara lain adalah kursus
komputer dan bahasa Inggris. Dengan mengikuti program-program di sanggar,
anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah bisa tetap mendapatkan kesempatan
untuk mencari pekerjaan yang layak baginya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
semua program-program yang digunakan untuk mencegah adanya child trafficking,
tidak semuanya berjalan sesuai rencana dan masih banyak lagi yang perlu di
perhatikan ulang. Sebagai contoh, poster-poster atau leaflet yang telah
dibagikan ke masyarakat di daerah sering kali tidak menjadi efektif dikarenakan
masih banyak penduduk di daerah tersebut yang masih buta huruf atau tidak bisa
membaca. Masalah lain dalam menjalankan program pencegahan ini adalah kurangnya
dukungan finansial yang mengakibatkan satu dari sanggar-sanggar yang telah
dibangun ditutup.
DAFTAR PUSTAKA
Syafaat,
Rachmad. Dagang Manusia ; Kajian Trafficking terhadap perempuan dan Anak di
Jawa Timur. Yogyakarta : LAPPERA PUATAKA UTAMA, 2003
Gerungan.
Psikologi Sosial. Bandung : PT Refika Aditama, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar