Minggu, 18 November 2012

Multikulturalisme



PEMBAHASAN
2.1  Definisi Multikulturalisme
Multikulturalisme”, adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultur) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, system, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. (Azyumardi Azra, 2007)
§    Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).
  • Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174)
  • Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000)
  • Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar).
Multikulturalisme menurut para ahli
Ø  Menurut Petter Wilson, ia mengartikan multikulturalisme setelah melihat peristiwa di Amerika, “ Di Amerika, multikultural muncul karena kegagalan pemeimpin di dalam mempersatukan orang Negro dengan orang Kulit Putih”. Dari sini dapat diambil sebuah sintesa bahwa konsep multikultural PetterWilson semata-mata merupakan kegagalan dalam mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian problem penghambatan proses integrasi budaya ini berujung kepada gagalnya atau salahnya perspektif tentang sebuah kesatuan budaya (Unikultural). Yang seharusnya tidak berarti kemajemukan harus dipaksakan unutk menjadi satu, akan tetapi perbedaan itu haruslah menjadi kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan berjalan bersama, tanpa adanya konflik.Adanya sebuah konsesus Neo Liberal yaitu datang berdasarkan pada kepentingan  ekonomi liberalisme. Juga menjadi faktor penghambat sebuah integrasi bangsa.

Ø  Menurut Kenan  Malik (1998), multikulturalisme merupakan produk dari kegagalan politik di negara Barat pada tahun 1960-an. Kemudian gagalnya perang Dingin tahun 1989, gagalnya dunia Marxisme kemudian gagalnya gerakan LSM di asia tenggara yang menemukan konsep multikultural yang sebenarnnya. Jalan keluar dari semua itu menurutnya adalah sebuah keadilan yang masih berpegang pada keanekaragaman budaya yang sejati. 

Ø  Furnivall
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu
sama lain di dalam suatu satu kesatuan politik.

Ø  Clifford Gertz
Masyarakat multikultural adalah merupakan masyarakat yang terbagi dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri dan masing-masing sub-sub sistem terkait oleh ikatan-ikatan primordial.

Ø  Nasikun
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara setruktur memiliki sub-sub kebudayaan yang ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat dan juga sistem nilai dari satu-kesatuan sosial, serta seringnya muncul konflik-konflik sosial.

2.2       Sejarah Multikulturalisme
Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhiku Parekh, multikulturalisme baru sekitar tahun 1970-an  mulai muncuil pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Setelah itu, diskursus meultikulturalisme berkembang dengan sangat cepat. Setelah tiga decade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang penting, yaitu :
 Pertama, multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini.
Kedua,  yaitu multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan, diantaranya: kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperealisme dan kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/ masyarakat conform (indigeneous people), post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post-modernisme, dan post-strukturalisme yang mendekonstruksi struktur kemapanan dalam masyarakat.
Multikulturalisme gelombang kedua ini, menurut Steve Fuller pada gilirannya memunculkan tiga tantangan yang harus diperhatikan sekaligus harus diwaspadai, yaitu :
a.      Pertama, adanya hegemoni Barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan. Komunitas, utamanya Negara-negara berkembang perlu mempelajari sebab-sebab dari hegemoni Barat dalam bidang-bidang tersebut dan mengambil langkah-langkah seperlunya dalam mengatasinya, sehingga dapat sejajar dengan dunia Barat. 
b.     Kedua, esensialisme budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi budaya tanpa harus jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas itu sendiri di dalam epoch globalisasi. Ketiga, proses globalisasi, bahwa globalisasi disposition memberangus identitas dan kepribadian suatu budaya.
Oleh kaena itu, untuk menghindari kekeliruan dalam diskursus tentang multikulturalisme, Bikhu Parekh menggarisbawahi tiga asumsi yang harus diperhatikan dalam kajian ini, yaitu :
 Pertama, pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur dan sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi.  Keterikatan ini tidak berarti bahwa manusia tidak disposition bersikap kritis terhadap complement budaya tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya tersebut.
Kedua, perbedaan budaya merupakan representasi dari complement nil;aid an cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu budaya merupakan suatu entitas yang relations sekaligus prejudiced dan memerlukan budaya lainuntuk memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya joke yang berhak memaksakan budayanya kepada complement budaya lain.
Ketiga,  pada dasarnya, budaya secara inner merupakan entitas yang plural yang merefleksikan interaksi antarperbedeaan tradisi dan untaian cara pandang. Hal ini tidak berarti menegaskan koherensi dan identitas budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk, terus berproses dan terbuka.
Dalam sejarahnya, melani Budianata menyatakan bahwa multikulturalisme diawali dengan teori melting pot yang diwacanak oleh J. Hector St. John de Crevecour seorang imigran asal Normandia yang menggambarkan bercampurnya berbagai manusia dari latar belakang berbeda menjadi bangsa baru “manusia baru”. Dalam hal ini Hector ingin menekankan penyatuan bangsa dan ‘melelehkan” budaya asal, sehingga seluruh imigran amerika hanya memiliki satu budaya baru yakni budaya Amerika.
Dalam hal ini bagaimanapun juga, konsep melting pot masih menunjukkan perspektif yang bersifat monokultir, karena acuan atau “cetakan budaya” yang dipakai untuk “melelehkan” berbagai asal budaya tersebut mempunyai karakteristik yang secara umum diwarnai oleh kelompok berkulit putih, berorientasi budaya anglo-saksos dan bernuansa Kristen protestan (White Anglo Saxson Protestan) – biasa disebut WASP – sebagai kultur imigran kulit putih berasal Eropa. Wacana multikultural di Barat, pada gilirannya akan menjadi isu tellurian seiring dengan berjalannya proses globalisasi yang tidak mengenal demarkasi antarnegara. Terlebih lagi dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan terjadinya interaksi antarbudaya di tengah masyarakat dunia.

2.3       Jenis-Jenis Multikulturalisme
o   Multikulturalisme  Isolasionis
Mengacu pada masyarakat sebagai tempat kelompok-kelompok budaya yang berbeda dan saling berinteraksi untuk hidup bersama.

o   Multikulturalisme  Akomodatif 
Masyarakat yang bertumpu pada satu budaya dominan, dengan penyesuaian dan pengaturan yang cocok untuk kebutuhan budaya minoritas.

o   Multikulturalisme  Mandiri
Mengacu pada masyarakat dimana kelompok-kelompok budaya besar mencari kesetaraan dengan budaya dominan.

o   Multikulturalisme  Kritis atau Interaktif 
Merujuk pada masyarakat sebagai tempat kelompok-kelompok kultural kurang peduli untuk menempuh hidup mandiri dan lebih peduli dalam menciptakan satu budaya yang mencerminkan dan mengakui perspektif mereka yang berbeda-beda.

o   Multikulturalisme  Kosmopolitan 
Mengacu pada masyarakat yang berusaha yang membuka peluang bagi para individu yang kini tidak terikat budaya khusus dan mengembangkan satu budaya milik mereka sendiri.

2.4       Multikulturalisme di Indonesia
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut. Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme.
Banyak definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition” (Azyumardi Azra, 2007).
Lawrence Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme tersebut dapat ddisimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.

2.5       Faktor Pendorong Multikulturalisme
Secara umum dipengaruhi oleh :
A.    Struktur Sosial
Struktur sosial yang ada mendorong seseorang untuk melakukan mobilitas sosial. Dalam hal ini berarti perpindahan status sosial dapat terjadi apabila status sosial tinggi yang dituju memang benar ada, masih menyediakan ruang untuk diisi dan mudah memperolehnya. Misalnya, sekelompok buruh tidak dapat menjadi karyawan pabrik, karena pabrik yang dituju tidak membuka lowongan pekerjaan atau seseorang pengamen tidak sanggup mengangkat status sosialnya menjadi sarjana, karena tidak memiliki ijazah SMA.
B.    Individu
Tidak semua orang mampu meningkatkan status sosialnya, walaupun suatu status sosial tinggi telah tersedia. Orang dari status sosial rendah tidak dapat secara otomatis menempati status sosial tinggi tersebut. Misalnya, seseorang mengadu nasib ke Jakarta untuk berjuang memperoleh pekerjaan. Di Jakarta tersedia berbagai macam kesempatan kerja. Akankah orang tersebut dapat menempati peluang kerja yang tersedia? Belum tentu! Hal tersebut sangat bergantung pada kecakapan, keterampilan, dan kemampuan orang tersebut. Penentu inilah yang dinamakan faktor individu. Dilihat dari pengaruhnya, faktor individu ini ternyata lebih menentukan dibandingkan faktor struktur. Semakin tinggi kemampuan individu, semakin besar kesempatannya untuk meningkatkan status sosialnya.
Secara spesifik dipengaruhi oleh :
1) Status Sosial
Status sosial tidak terlepas dari pembawaan yang dimiliki oleh orang tuanya. Oleh karena itu, apabila seorang anak tidak merasa puas dengan kedudukan orang tuanya, ia dapat berusaha untuk meraih kedudukan yang lebih tinggi daripada orang tuanya.
2) Keadaan Ekonomi
Mobilitas sosial geografis sering terjadi apabila sumber daya alam di daerah padat penduduk sudah tidak mampu mencukupi kebutuhan untuk hidup. Sehingga penduduk cenderung mencari lahan subur di daerah lain melalui migrasi/perpindahan antarwilayah.
3) Situasi Politik
Apabila situasi politik suatu wilayah negara tidak menjamin terhadap keamanan penduduk, mobilitas sosial akan terjadi, mereka akan berpindah mencari daerah yang aman.
4) Motif-Motif Keagamaan
Adanya kelompok-kelompok yang menekan terhadap umat beragama lainnya mengakibatkan kelompok-kelompok yang merasa tertekan tersebut memilih untuk mengadakan mobilitas sosial.
5) Masalah Kependudukan
Semakin sempitnya lahan permukiman mendorong orang untuk mencari tempat-tempat atau wilayah yang masih memungkinkan untuk bermukim.
6) Keinginan Melihat Daerah Lain
Muncul gagasan untuk melihat daerah lain menimbulkan ide terjadinya mobilitas secara geografis. Selain itu juga memungkinkan terjadinya perpindahan masyarakat dari suatu laporan sosial ke laporan sosial yang lain dengan cara alih potensi dengan membandingkan besarnya pendapatan atau gaji yang lebih besar.

2.6      Faktor Penghambat Multikulturalisme
1) Kebudayaan
Kebudayaan dalam suatu masyarakat mampu menjadi penghambat terjadinya mobilitas sosial. Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan yang bersifat tradisional. Lain halnya dengan masyarakat modern. Dalam masyarakat modern justru memberikan peluang terjadinya mobilitas sosial sebagai akibat kemajuan teknologi, komunikasi, dan transportasi.
2) Lingkungan Asal
Keterbukaan lingkungan asal akan mempercepat terjadinya mobilitas sosial. Namun sebaliknya, apabila di lingkungan asal bersifat tertutup maka akan memperlambat mobilitas sosial.
3) Tradisi
Dalam suatu masyarakat tentunya memiliki tradisi masingmasing. Di mana tradisi ini digunakan sebagai patokanpatokan atau pedoman dalam bertingkah laku. Jika dalam tradisi masyarakat masih menganut paham-paham kolot besar kemungkinan mobilitas tidak terjadi.
4) Ekonomi
Dalam hal ini keadaan ekonomi yang serbakekurangan akan sulit untuk mengikuti dan menyesuaikan dengan kedudukan yang dimasukinya.

2.7       Dampak Negatif Multikultural di Indonesia
Pada  kenyataannya di Indonesia dampak negatif dari Multikulturalnya agama, ras, bahasa, budaya menyebabkan konflik bergenerasi antar kelompok masyarakat (konflik horizontal) dan konflik antar masyarakat/pemerintah daerah dan pusat (konflik vertical) dan generasi dengan pelaku dan intensitas yang berbeda. Sebagai contoh :
a) Pembakaran pasar Glodok (Peristiwa Mei Kelabu) di Jakarta, yang menjadi sasaran adalah kelompok etnis.
b) Keturunan Tionghoa (sebelumnya telah terjadi di Medan kemudian di Bandung, Solo, dan Makasar).
c)  Peristiwa Ambon-Maluku (Pertarungan antara BBM (Bugis-Buton-Makasar) dan Ambon Islam melawan Ambon Kristen).
d) Peristiwa Sambas dan Palangkaraya (Kalimantan) (Pertarungan antara Dayak, Melayu dan Tionghoa melawan Madura)
e)  Peristiwa Poso (pertarungan antara kelompok Islam dan Kristen yang disertai oleh unsur-unsur dari luar),
f)      Peristiwa Sumbawa (NTT) perkelahian antara orang Sumbawa dan Bali,
g)     Peristiwa Aceh (pertarungan antara orang Aceh dan transmigrasi Jawa),
h) Peristiwa separatisme Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka disusul penghancuran masjid-masjid Ahmadiyah di Parung Bogor yang dipicu oleh perbedaan agama, atau
i)      Kasus-kasus yang sudah agak lama tapi tetap masih menjadi ingatan kita seperti pemboman Borobudur, pemboman beberapa gereja di Indonesia atau kasus terbesar yang pernah dihadapi oleh Indonesia.
Justru dari contoh dapat dilihat betapa kelompok-kelompok mayoritas menindas kelompok minoritas, untuk memaksakan kehendaknya. Persaingan yang tidak sehat antar budaya dan ras, memaksakan kebenaran, saling merasa paling unggul sehingga ada benarnya apa yang dikatakan Rorty bahwa Spesies manusia akan mati tercekik karena dengan klaim-klaim “universal” kebudayaan dan peradaban lokal yang saling mengerkah.
Maka dari itu harus dilakukan upaya merajut kembali hubungan antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh dengan konfliktual. Harus ada sebuah kesadaran masif yang muncul bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik. Sehingga akan terbangun suatu sistem tata nilai kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian bukan konflik atau kekerasan meskipun terdapat perbedaan sistem sosial di dalamnya, yaitu pemahaman tentang Multikulturasisme yang belum dipahami dengan benar dan menyeluruh.
2. 6      Solusi Terahadap Dampak Negatif Multikurtural Di Indonesia
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Tetapi pada pihak lain, realitas “multikultural” tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang dapat menjadi “integrating force” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata “uh. huh”. Namun dalam kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja sementra dalam budaya lain justru sebaliknya.
Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Sebagai contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali. Oleh karena kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat intelligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi penting dalam masyarakat Barat. Oleh karenanya “keahlian” yang dimiliki seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan intelligensinya.
Dari sisi Psikologis manusia, maka setiap tindakan manusia adalah dipengaruhi oleh pikirannya, hasil olah pikir manusia itulah yang memotivasi perilaku manusia. Sedangkan menurut faham Psikoanalisis, maka perilaku manusia dipengaruhi oleh mentalitas manusia tersebut.
Dari sudut pandang Metafisik atau sudah pandang ajaran keruhanian, maka dipahami bahwa tindakan manusia atau perilaku manusia itu di pengaruhi oleh cara berpikir manusia tersebut, dipengaruhi oleh akan manusia tersebut dan akal manusia tersebut dipengaruhi oleh dorongan hatinya. Khatir-Khatir atau lintasan-lintasan hati itulah yang mempengaruhi akal pikir dan kemudian menggerakkan manusia untuk berbuat atau bertindak (Imam Ghozali, Rahasia Keajaiban Hati).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar