PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Multikulturalisme
“Multikulturalisme”, adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan
pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan
kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan
berbagai macam budaya (multikultur) yang ada dalam kehidupan masyarakat
menyangkut nilai-nilai, system, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. (Azyumardi Azra, 2007)
§ Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa
macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan
konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial,
sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that
includes several cultural communities with their overlapping but none the less
distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social
organizations, historis, customs and practices”; Parekh, 1997 yang dikutip
dari Azra, 2007).
- Multikulturalisme
mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya
seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis
orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174)
- Sebuah
ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik
secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay
2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000)
- Multikulturalisme
mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh
masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan
sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat
kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan
tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar).
Multikulturalisme
menurut para ahli
Ø Menurut
Petter Wilson, ia mengartikan multikulturalisme setelah melihat peristiwa di
Amerika, “ Di Amerika, multikultural muncul karena kegagalan pemeimpin di dalam
mempersatukan orang Negro dengan orang Kulit Putih”. Dari sini dapat diambil
sebuah sintesa bahwa konsep multikultural PetterWilson semata-mata merupakan
kegagalan dalam mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian problem
penghambatan proses integrasi budaya ini berujung kepada gagalnya atau salahnya
perspektif tentang sebuah kesatuan budaya (Unikultural). Yang seharusnya tidak
berarti kemajemukan harus dipaksakan unutk menjadi satu, akan tetapi perbedaan
itu haruslah menjadi kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan berjalan bersama,
tanpa adanya konflik.Adanya sebuah konsesus Neo Liberal yaitu datang
berdasarkan pada kepentingan ekonomi liberalisme. Juga menjadi faktor
penghambat sebuah integrasi bangsa.
Ø
Menurut Kenan Malik (1998), multikulturalisme merupakan
produk dari kegagalan politik di negara Barat pada tahun 1960-an. Kemudian
gagalnya perang Dingin tahun 1989, gagalnya dunia Marxisme kemudian gagalnya
gerakan LSM di asia tenggara yang menemukan konsep multikultural yang
sebenarnnya. Jalan keluar dari semua itu menurutnya adalah sebuah keadilan yang
masih berpegang pada keanekaragaman budaya yang sejati.
Ø
Furnivall
Masyarakat multikultural adalah
suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup
sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu
sama lain di dalam suatu satu
kesatuan politik.
Ø
Clifford Gertz
Masyarakat multikultural adalah
merupakan masyarakat yang terbagi dalam sub-sub sistem yang kurang lebih
berdiri sendiri dan masing-masing sub-sub sistem terkait oleh ikatan-ikatan
primordial.
Ø
Nasikun
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat
bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara setruktur memiliki sub-sub
kebudayaan yang ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakati
oleh seluruh anggota masyarakat dan juga sistem nilai dari satu-kesatuan
sosial, serta seringnya muncul konflik-konflik sosial.
2.2 Sejarah Multikulturalisme
Sebagai sebuah
gerakan, menurut Bhiku Parekh, multikulturalisme baru sekitar tahun 1970-an mulai muncuil pertama kali di Kanada dan
Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Setelah
itu, diskursus meultikulturalisme berkembang dengan sangat cepat. Setelah tiga
decade sejak digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang
penting, yaitu :
Pertama, multikulturalisme dalam
konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap
pengakuan (needs of recognition)
adalah ciri utama dari gelombang pertama ini.
Kedua,
yaitu multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, yang mengalami
beberapa tahapan, diantaranya: kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai
disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperealisme dan kolonialisme,
gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/ masyarakat conform
(indigeneous people), post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme,
post-modernisme, dan post-strukturalisme yang mendekonstruksi struktur
kemapanan dalam masyarakat.
Multikulturalisme
gelombang kedua ini, menurut Steve Fuller pada gilirannya memunculkan tiga
tantangan yang harus diperhatikan sekaligus harus diwaspadai, yaitu :
a.
Pertama, adanya
hegemoni Barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan.
Komunitas, utamanya Negara-negara berkembang perlu mempelajari sebab-sebab dari
hegemoni Barat dalam bidang-bidang tersebut dan mengambil langkah-langkah
seperlunya dalam mengatasinya, sehingga dapat sejajar dengan dunia Barat.
b.
Kedua, esensialisme
budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi budaya tanpa
harus jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia dan etnosentrisme.
Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang sempit yang pada akhirnya
merugikan komunitas itu sendiri di dalam epoch
globalisasi. Ketiga, proses globalisasi, bahwa globalisasi
disposition memberangus identitas dan kepribadian suatu budaya.
Oleh kaena itu,
untuk menghindari kekeliruan dalam diskursus tentang multikulturalisme, Bikhu
Parekh menggarisbawahi tiga asumsi yang harus diperhatikan dalam kajian ini,
yaitu :
Pertama,
pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur dan sistem budayanya sendiri
dimana dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan ini tidak berarti bahwa
manusia tidak disposition bersikap kritis terhadap complement budaya tersebut,
akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala
sesuatu berdasarkan budayanya tersebut.
Kedua, perbedaan
budaya merupakan representasi dari complement nil;aid an cara pandang tentang
kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu budaya merupakan suatu
entitas yang relations sekaligus prejudiced dan memerlukan budaya lainuntuk
memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya joke yang berhak memaksakan budayanya
kepada complement budaya lain.
Ketiga, pada
dasarnya, budaya secara inner merupakan entitas yang plural yang merefleksikan
interaksi antarperbedeaan tradisi dan untaian cara pandang. Hal ini tidak
berarti menegaskan koherensi dan identitas budaya, akan tetapi budaya pada
dasarnya adalah sesuatu yang majemuk, terus berproses dan terbuka.
Dalam
sejarahnya, melani Budianata menyatakan bahwa multikulturalisme diawali dengan
teori melting pot yang diwacanak oleh J. Hector St. John de Crevecour
seorang imigran asal Normandia yang menggambarkan bercampurnya berbagai manusia
dari latar belakang berbeda menjadi bangsa baru “manusia baru”. Dalam hal ini
Hector ingin menekankan penyatuan bangsa dan ‘melelehkan” budaya asal, sehingga
seluruh imigran amerika hanya memiliki satu budaya baru yakni budaya Amerika.
Dalam hal ini
bagaimanapun juga, konsep melting pot masih menunjukkan perspektif
yang bersifat monokultir, karena acuan atau “cetakan budaya” yang dipakai untuk
“melelehkan” berbagai asal budaya tersebut mempunyai karakteristik yang secara
umum diwarnai oleh kelompok berkulit putih, berorientasi budaya anglo-saksos
dan bernuansa Kristen protestan (White Anglo Saxson Protestan) – biasa disebut
WASP – sebagai kultur imigran kulit putih berasal Eropa. Wacana multikultural
di Barat, pada gilirannya akan menjadi isu tellurian seiring dengan berjalannya
proses globalisasi yang tidak mengenal demarkasi antarnegara. Terlebih lagi
dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan
terjadinya interaksi antarbudaya di tengah masyarakat dunia.
2.3
Jenis-Jenis Multikulturalisme
o Multikulturalisme Isolasionis
Mengacu
pada masyarakat sebagai tempat kelompok-kelompok budaya yang berbeda dan saling
berinteraksi untuk hidup bersama.
o
Multikulturalisme Akomodatif
Masyarakat
yang bertumpu pada satu budaya dominan, dengan penyesuaian dan pengaturan yang
cocok untuk kebutuhan budaya minoritas.
o
Multikulturalisme Mandiri
Mengacu
pada masyarakat dimana kelompok-kelompok budaya besar mencari kesetaraan dengan
budaya dominan.
o
Multikulturalisme
Kritis atau Interaktif
Merujuk
pada masyarakat sebagai tempat kelompok-kelompok kultural kurang peduli untuk
menempuh hidup mandiri dan lebih peduli dalam menciptakan satu budaya yang
mencerminkan dan mengakui perspektif mereka yang berbeda-beda.
o
Multikulturalisme Kosmopolitan
Mengacu
pada masyarakat yang berusaha yang membuka peluang bagi para individu yang kini
tidak terikat budaya khusus dan mengembangkan satu budaya milik mereka sendiri.
2.4
Multikulturalisme di Indonesia
Masyarakat Indonesia
merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks.
Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah
mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok
manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka mampu
mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan
sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut
jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan
diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya
masyarakat multikultural itu.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap
suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok
manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan
dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan
masyarakat yang lain. Setiap masyarakat
akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi
masyarakat tersebut. Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme.
Banyak definisi mengenai
multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan
dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan-
yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan
multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat
juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics
of recognition” (Azyumardi Azra, 2007).
Lawrence Blum
mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan
penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang
budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme
tersebut dapat ddisimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai
penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri
maupun kebudayaan orang lain. Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai
dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu
kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara satu
kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Pada dasarnya,
multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi
sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi
geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana stiap pulau tersebut dihuni
oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat
tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu
saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan
beraneka ragam.
Dalam konsep
multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang
berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional
yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih
terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di
masyarakat.
2.5 Faktor Pendorong
Multikulturalisme
Secara umum dipengaruhi
oleh :
A. Struktur Sosial
Struktur sosial yang ada
mendorong seseorang untuk melakukan mobilitas sosial. Dalam hal ini berarti
perpindahan status sosial dapat terjadi apabila status sosial tinggi yang
dituju memang benar ada, masih menyediakan ruang untuk diisi dan mudah
memperolehnya. Misalnya, sekelompok buruh tidak dapat menjadi karyawan pabrik,
karena pabrik yang dituju tidak membuka lowongan pekerjaan atau seseorang
pengamen tidak sanggup mengangkat status sosialnya menjadi sarjana, karena
tidak memiliki ijazah SMA.
B. Individu
Tidak semua orang mampu
meningkatkan status sosialnya, walaupun suatu status sosial tinggi telah
tersedia. Orang dari status sosial rendah tidak dapat secara otomatis menempati
status sosial tinggi tersebut. Misalnya, seseorang mengadu nasib ke Jakarta
untuk berjuang memperoleh pekerjaan. Di Jakarta tersedia berbagai macam
kesempatan kerja. Akankah orang tersebut dapat menempati peluang kerja yang
tersedia? Belum tentu! Hal tersebut sangat bergantung pada kecakapan,
keterampilan, dan kemampuan orang tersebut. Penentu inilah yang dinamakan
faktor individu. Dilihat dari pengaruhnya, faktor individu ini ternyata lebih
menentukan dibandingkan faktor struktur. Semakin tinggi kemampuan individu,
semakin besar kesempatannya untuk meningkatkan status sosialnya.
Secara spesifik
dipengaruhi oleh :
1) Status Sosial
Status sosial tidak
terlepas dari pembawaan yang dimiliki oleh orang tuanya. Oleh karena itu,
apabila seorang anak tidak merasa puas dengan kedudukan orang tuanya, ia dapat
berusaha untuk meraih kedudukan yang lebih tinggi daripada orang tuanya.
2) Keadaan Ekonomi
Mobilitas sosial
geografis sering terjadi apabila sumber daya alam di daerah padat penduduk
sudah tidak mampu mencukupi kebutuhan untuk hidup. Sehingga penduduk cenderung
mencari lahan subur di daerah lain melalui migrasi/perpindahan antarwilayah.
3) Situasi Politik
Apabila situasi politik
suatu wilayah negara tidak menjamin terhadap keamanan penduduk, mobilitas
sosial akan terjadi, mereka akan berpindah mencari daerah yang aman.
4) Motif-Motif Keagamaan
Adanya kelompok-kelompok
yang menekan terhadap umat beragama lainnya mengakibatkan kelompok-kelompok
yang merasa tertekan tersebut memilih untuk mengadakan mobilitas sosial.
5) Masalah Kependudukan
Semakin sempitnya lahan
permukiman mendorong orang untuk mencari tempat-tempat atau wilayah yang masih
memungkinkan untuk bermukim.
6) Keinginan Melihat Daerah Lain
Muncul gagasan untuk
melihat daerah lain menimbulkan ide terjadinya mobilitas secara geografis.
Selain itu juga memungkinkan terjadinya perpindahan masyarakat dari suatu
laporan sosial ke laporan sosial yang lain dengan cara alih potensi dengan
membandingkan besarnya pendapatan atau gaji yang lebih besar.
2.6 Faktor Penghambat
Multikulturalisme
1) Kebudayaan
Kebudayaan dalam suatu
masyarakat mampu menjadi penghambat terjadinya mobilitas sosial. Kebudayaan
yang dimaksud adalah kebudayaan yang bersifat tradisional. Lain halnya dengan
masyarakat modern. Dalam masyarakat modern justru memberikan peluang terjadinya
mobilitas sosial sebagai akibat kemajuan teknologi, komunikasi, dan
transportasi.
2) Lingkungan Asal
Keterbukaan lingkungan
asal akan mempercepat terjadinya mobilitas sosial. Namun sebaliknya, apabila di
lingkungan asal bersifat tertutup maka akan memperlambat mobilitas sosial.
3) Tradisi
Dalam suatu masyarakat
tentunya memiliki tradisi masingmasing. Di mana tradisi ini digunakan sebagai
patokanpatokan atau pedoman dalam bertingkah laku. Jika dalam tradisi
masyarakat masih menganut paham-paham kolot besar kemungkinan mobilitas tidak
terjadi.
4) Ekonomi
Dalam hal ini keadaan
ekonomi yang serbakekurangan akan sulit untuk mengikuti dan menyesuaikan dengan
kedudukan yang dimasukinya.
2.7 Dampak Negatif Multikultural di
Indonesia
Pada kenyataannya di Indonesia dampak negatif dari
Multikulturalnya agama, ras, bahasa, budaya menyebabkan konflik bergenerasi
antar kelompok masyarakat (konflik horizontal) dan konflik antar
masyarakat/pemerintah daerah dan pusat (konflik vertical) dan generasi dengan
pelaku dan intensitas yang berbeda. Sebagai contoh :
a) Pembakaran pasar Glodok (Peristiwa Mei Kelabu) di Jakarta, yang menjadi
sasaran adalah kelompok etnis.
b) Keturunan Tionghoa (sebelumnya telah terjadi di Medan kemudian di Bandung,
Solo, dan Makasar).
c) Peristiwa Ambon-Maluku (Pertarungan antara BBM (Bugis-Buton-Makasar) dan
Ambon Islam melawan Ambon Kristen).
d) Peristiwa Sambas dan Palangkaraya (Kalimantan) (Pertarungan antara Dayak,
Melayu dan Tionghoa melawan Madura)
e) Peristiwa Poso (pertarungan antara kelompok Islam dan Kristen yang disertai
oleh unsur-unsur dari luar),
f)
Peristiwa Sumbawa (NTT) perkelahian antara
orang Sumbawa dan Bali,
g) Peristiwa Aceh (pertarungan antara orang Aceh dan transmigrasi Jawa),
h) Peristiwa separatisme Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi Papua Merdeka
disusul penghancuran masjid-masjid Ahmadiyah di Parung Bogor yang dipicu oleh
perbedaan agama, atau
i)
Kasus-kasus yang sudah agak lama tapi
tetap masih menjadi ingatan kita seperti pemboman Borobudur, pemboman beberapa
gereja di Indonesia atau kasus terbesar yang pernah dihadapi oleh Indonesia.
Justru dari contoh dapat
dilihat betapa kelompok-kelompok mayoritas menindas kelompok minoritas, untuk
memaksakan kehendaknya. Persaingan yang tidak sehat antar budaya dan ras, memaksakan
kebenaran, saling merasa paling unggul sehingga ada benarnya apa yang dikatakan
Rorty bahwa Spesies manusia akan mati tercekik karena dengan klaim-klaim
“universal” kebudayaan dan peradaban lokal yang saling mengerkah.
Maka dari itu harus
dilakukan upaya merajut kembali hubungan antarmanusia yang belakangan selalu
hidup dalam suasana penuh dengan konfliktual. Harus ada sebuah kesadaran masif
yang muncul bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan,
pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, hingga orientasi politik.
Sehingga akan terbangun suatu sistem tata nilai kehidupan yang menjunjung
tinggi toleransi, kerukunan dan perdamaian bukan konflik atau kekerasan
meskipun terdapat perbedaan sistem sosial di dalamnya, yaitu pemahaman tentang
Multikulturasisme yang belum dipahami dengan benar dan menyeluruh.
2. 6
Solusi Terahadap Dampak Negatif
Multikurtural Di Indonesia
Merupakan kenyataan yang
tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok
etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara
sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Tetapi pada pihak
lain, realitas “multikultural” tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak
untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang dapat menjadi
“integrating force” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Perbedaan budaya
merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang
orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya
cukup dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata “uh. huh”. Namun dalam
kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua
matanya. Dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi
biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya
menerima saja sementra dalam budaya lain justru sebaliknya.
Beberapa psikolog
menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Sebagai
contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali. Oleh karena
kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat
intelligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi
penting dalam masyarakat Barat. Oleh karenanya “keahlian” yang dimiliki
seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan intelligensinya.
Dari sisi Psikologis manusia, maka setiap
tindakan manusia adalah dipengaruhi oleh pikirannya, hasil olah pikir manusia
itulah yang memotivasi perilaku manusia. Sedangkan menurut faham Psikoanalisis,
maka perilaku manusia dipengaruhi oleh mentalitas manusia tersebut.
Dari sudut pandang Metafisik atau sudah pandang ajaran
keruhanian, maka dipahami bahwa tindakan manusia atau perilaku manusia itu di
pengaruhi oleh cara berpikir manusia tersebut, dipengaruhi oleh akan manusia
tersebut dan akal manusia tersebut dipengaruhi oleh dorongan hatinya.
Khatir-Khatir atau lintasan-lintasan hati itulah yang mempengaruhi akal pikir
dan kemudian menggerakkan manusia untuk berbuat atau bertindak (Imam Ghozali,
Rahasia Keajaiban Hati).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar