1.
Pengertian Agresifitas
Agresifitas adalah istilah umum yang dikaitkan dengan adanya
perasaan- perasaan marah atau permusuhan atau tindakan melukai orang lain baik
dengan tindakan kekerasan secara fisik, verbal, maupun menggunaka ekspresi
wajah dan gerakan tubuh yang mengancam atau merendahkan. Tindakan agresi pada
umumnya merupakan tindakan yang disengaja oleh pelaku untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu. Ada dua tujuan utama agresi yang saling bertentangan
satu dengan yang lain, yakni untuk membela diri di satu pihak dan di pihak lain
adalah untuk meraih keunggulan dengan cara membuat lawan tidak berdaya.
Bentuk agresifitas anak TK ada beberapa macam. Pertama,
bentuk verbal, misalnya dengan mengeluarkan kata-kata “kotor” yang mungkin anak
tidak mengerti artinya namun hanya meniru saja. Kedua, agresi juga bisa dalam
bentuk tindakan fisik. Misalnya menggigit, menendang, mencubit. Semua perilaku
ini dimaksudkan untuk menyakiti fisik atau badan. Buss dan Perry (1992)
menambahkan dua jenis agresi, yakni kemarahan (anger), dan kebencian
(hostility). Agresi yang umumnya terjadi pada anak usia TK adalah hostile
aggression yaitu agresi yang ditujukan ke orang lain akibat kesal atau marah
pada seseorang.
Sasaran perilaku ini adalah pendidik atu teman, serta
sasaran fisik: bangunan dan sarana fisik sekolah. Sasaran lain misalnya
mengganggu proses belajar di kelas, mengganggu kegiatan bersama, atau
mengganggu acara. Dampak agresi berupa kerusakan secara fisik. Berbeda dengan
agresifitas orang dewasa, dampak fisik agresifitas yang dilakukan anak TK pada
umumnya tidak permanent. Dampak lain yang ditimbulkna adalah pada aspek
psikologis dan sosial yang tampaknya lelbih menonjol. Agresifitas salah satu
anak TK mungkin menimbulkan perasaan takut pada anak-anak yang lain.
Agresifitas
yang wajar. Tidak setiap tindakan agresi merupakan perilaku yang bermasalah.
Agresi mungkin muncul sebagai pelampiasan perasaan marah dan frustasi. Bla
agresifitas muncul karena kondisi psikologis yang bersifat temporer, dan
dipahami berdasarkan konteks situasi yang dihadapi anak, maka itu merupakan
tndakan yang masih bisa diterima. Justru ketidakmampuan seorang anak untuk
mengekspresikan dorongan agresi pada situasi-situasi tertentu merupakan
indikasi adanya permasalahan perkembangan pada dirinya. Mengkin itu merupakan akibat
dari mekanisme hambatan yang berlebihan, yang secara psikologis tidak terlalu
sehat untuk perkembangan selanjutnya. Agresifitas yang tidak wajar. Namun ada
kecenderungan agresifitas yang bersifat menetap pada anak tertentu. Secara umum
kecenderungan ini menandakan kepribadian yang agresif. Ini menandakan
kekpribadian yang agresif. Ini merupakan perkembangan kepribadian. Dampak
negative pada diri sendiri dan pada lingkungan cukup serius. Misalnya gangguan
pada proses belajar di TK. Deteksi permasalahan pekembangan ketika anak masih
di TK mungkin merupakan deteksi dini yang bermanfaat untuk langkah-langkah
intervensi.
Fenomena lain yang perlu dicermati adalah perbedaan
kecenderungan antara laki-laki dan perempuan. Sikap agresif dominasi terjadi
pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, hal ini berkaitan erat dengan
pandangan anak laki-laki tidak boleh cengeng atau menangis. Merasa pelampiasan
emosinya dibatasi maka anak laki-laki mengalihkannya dengan perilaku agresif.
Contoh-contoh dari bentuk agresifitas diatas umum ditemukan
di TK. Bentuk- bentuk agresifitas ini perlu dicermati pada anak sejak usia ini
karena secara potensial dapat menjadi pemicu timbulnya permasalahan perilaku
pada tahap selanjutnya. TK merupakan arena yang tepat diluar lingkungan
keluarga untuk mendeteksi dini pada perilaku agresif ini karena TK merupakan
lingkungan sosial pertama bagi anak.
2.
Penyebab Agresifitas
Berbagai factor dapat menjadi penyebab agresifitas, baik
factor eksternal maupun internal. Diantara factor internal tersebut adalah
factor biologis. Factor-faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi
(Davidoff, 1991) tersebtu adalah:
a.
Gen,
merupakan factor yang tampaknya berpengaruh pada pembentukan system neural otak
yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap
binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya,
factor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai
jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.
b.
Sistem
otak, yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau
memperlambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan secara
sederhana, marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang system
limbic (daerah yang menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul
hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott (dalam
Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan
sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang pernah mengalami kesenangan,
kegembiraan, atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman atau penghancuran.
Prescott yakin bahwa keinginan yang
kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu
hal yang disebabkan cidera otak karena kurangnya rangsangan sewaktu bayi.
c.
Kimia
darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditemukan pada factor
keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen,
seorang ilmuan menyuntikkan hormone testoteron pada tikus dan beberapa hewan
lain (testoteron merupakan hormone androgen utama yang memberikan cirri kelamin
jantan) maka tikus-tikus tersebut berkelahi semakin sering dan semakin kuat.
Sewaktu testoteron dikurangi, hewan tersebut menjadi lembut. Kenyataan
menunjukkan bahwa anak banteng jantan yang sudah dikebiri akan menjadi jinak.
Sedangkan pada wanita yang sedang mengalami masa haid. Kadar hormone kewanitaan
yaitu estrogen dan progesterone menurun jumlahnya akibatnya banyak wanita
melaporkan bahwa perasaan mereka mudah tersinggung tegang dan bermusuhan.
Selain itu banyak wanita yang lebih bertidak agresi pada saat berlangsungnya
siklus haid.
Adapun
factor eksternal penyebab agresifitas adalah lingkungan :
a. Kemiskinan
Bila seorang anak dibesarkan dalam
lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami
penguatan (byod make mc candles dalam Davidoff, 1991). Hal ini dapat dilihat
dan dialami dalam kehidupan sehari-hari apalagi di kota-kota besar, di
perempatan jalan, dalam anrian lampu merah (traffic light) dimana biasanya
pengendara didatangi pengamen cilik atau pengemis yang jumlahnya lebih satu
orang dan berdatangan silih berganti. Bila salah satu dari mereka diberi uang
maka bersiap-siaplah menerima serbuan anak lain untuk meminta juga bagiannya,
dan akan timbul resiko mereka mencaci maki dan bahkan ada yang berani memukul
kendaraan jika tidak diberi uang, terlebih bila mereka tahu jumlah uang yang
diberikan pada temannya cukup besar. Bahkan kadang tidak segan menyerang
temannya yang telah diberi uang. Terjadinya perkelahian dipemukiman kumuh,
misalnya ada pemabuk yang memukuli isterinya karena tidak diberi uang untuk
membeli minuman, maka pada saat yang bersamaan anak-anak dengan mudah dapat
melihat model agresi secara langsung (modeling). Model agresi ini sering kali
diadopsi anak-anak sebagai model pertahanan diri dan mempertahankan hidup.
Dalam situasi-situasi yang kritis bagi pertahanan hidupnya dengan ditambah daya
nalar yang belum berkembang optimal, anak-anak sering kali dengan gampang
bertindak agresi, misalnya dengan memukul, berteriak, mendorong dan sebagainya.
Hal ini sangat menyedihkan karena amat banyak anak-anak usia TK yang terjaring
dalam perilaku agresifitas karena kemiskinan, dan jika kemiskinan ini semakin
berlarut- larut maka ini berarti potensi meledaknya tingkat agresi semakin
tinggi dan kesulitan mengatasinya pun akan lebih kompleks.
b. Anonimitas
Daerah perkotaan yang masuk dalam
kategori kota-kota besar, menyajikan berbagai suara, cahaya, dan bermacam-macam
informasi yang besarnya sangat luar biasa. Orang secara otomatis cenderung
berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap
rangsangan yang berlebihan tersebut. Terlalu banyak rangsangan indera dan
kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang
dengan orang lain tidak lagi saling mengenal dan mengetahui secara baik. Lebih
jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonym (tidak mempunyai identitas
diri). Bila seseorang merasa anonym ia cenderung berperilaku sendiri-sendiri,
karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma-norma masyarakat dan kurang
bersimpati pada orang lain.
c. Suhu udara yang panas.
Bila diperhatikan dengan seksama
tawuran yang banyak terjadi sering kali terjadi pada siang hari diterik panas
matahari, tetapi bila musim hujan tidak ada peristiwa tersebut, begitu juga
dengan aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas
keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas. Tetapi bila hari
diguyur hujan, aksi tersebut juga menjadi sepi. Hal ini sesuai dengan pandangan
bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku
sosial berupa peningkatan agresifitas.
d. Meniru (Modelling).
Secara spesifik selain factor
internal dan eksternal diatas, masih ada factor lain yang justru tingkat
pemicunya dalam beberapa penelitian dianggap sangat tinggi yaitu adanya peran belajar
model kekerasan memalui suguhan dan fasilitas media komunikasi dan informasi
yang berkembang dengan begitu pesat. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini
anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui
televise dan permainan yang bertema kekerasan. Acara- acara yang menampilkan
adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan
televise mulai dari fillm kartun, sinetron sampai film laga.
Walaupun pembawa acara berulang kali
mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan, namun
diyakini bahwa tontonan tersebtu akan berpengaruh bagi perkembangan jiwa
penontonnya. Di Indonesia kekerasan yang disaksikan di televisi tidak hanya
terjadi pada film saja. Kekerasan dapat juga disaksikan setiap hari dalam
siaran berita, dari stasiun TV swasta maupun TVRI. Berita-berita criminal
memberikan dampak buruk bagi perkembangan psikologis anak maupun remaja.
Berkowitz juga mengatakan bahwa
kekerasan yang realistic atau nyata akan menghasilkan agresi di kemudian hari,
apalagi bila adegan tersebut ditampilkan secara jelas dan hidup sehingga
menarik perhatian penuh dari penontonnya. Pendapat ini esuai dengan yang
diutarakan Davidoff (1991) yang mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan
pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan
untuk meniru model kekerasan tersebut. Model pahlawan di film- film seringkali
mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindaka kekerasan. Hal ini sudah
barang tentu membuat penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal
tersebut merupakan hal yang menyenangkan dan dapat dijadikan sebagai suatu
system nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi
proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif untuk
terciiptanya perilaku agresif. Kondisi semacam ini lebih diperparah lagi dengan
jam tanyang yang tidak ada aturan dan batasannya seta pengklasifikasian usia
layak tonton. Sementara tidak dapat dipungkiri bahwa yang menjadi penonton setia
acara-acara tersebut adalah anak usia TK yang dalam perkembangannya amat rentan
untuk meniru.
Dalam suatu penelitian Aletha Stein
(Davidoff, 1991) dikemukakan bahwa anak-anak yang memiliki kadar agresi diatas
normal akan lebih cenderung berlaku agresif, mereka akan bertindak keras
terhadap sesame anak lain setelah menyaksikan adegan kekerasan dan meningkatkan
agresi dalam kehidupan sehari-hari, dan ada kemungkinan efek ini sifatnya
meningkat dan menetap. Selain model dari yagdisaksikan di televise, belajar
model juga dapat berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari- hari. Bila
seorang yang sering menyaksikan tawuran di jalan, mereka secara langsung
menyaksikan kebanggaan orang yang melakukan agresi secara langsung.
Atau dalam kehidupan bila terbiasa
di lingkungan rumah menyaksikan peritiwa perkelahian antar orang tua, ayah dan
ibu yang sering cekcok dan peristiwa yang sejenisnya, semua itu dapat
memperkuat perilaku agresi yang ternyata sangat efektif bagi dirinya.
Ada banyak factor yang bisa memicu agresivitas anak.
Factor-faktor tersebut mungkin bersumberdari dalam diri anak itu sendiri maupun
dari lingkungan sekitarnya, sebagaimana yang telah dijelaskan di depan.
Penanganan yang tepat terhadap factor penyebab pada umumnya akan mengurangi
perilaku agresif anak secara signifikan. Karena itu sangat penting bagi
pendidik TK untuk mampu mengenali sumber permasalahan secara tepat sebelum
merencanakan tidakan apa yang akan dilakukan.
Berikut ini lebih khusus diuraikan secara ringkas sumber-
sumber permasalahan yang mungkin memicu agresivitas anak :
· Kemampuan
berbicara belum lancar. Sebagaimana orang dewasa, anak memiliki keinginan untuk
mengekspresikan pikiran dan perasaanya melalui bahasa. Namun seringkalii itu
terhambat oleh keterampilan berbicara yang belum sepenuhnya dikuasai. Kemampuan
atau keterampilan anak berbicara belum tercapai dengan baik, menyebabkan anak
dalam menyampaikan keinginan atau perasaannya terhalang oleh bahasa yang belum
jelas. Disisi lain orang tua atau pendidik tidak memahami apa sesungguhnya yang
diinginkan anak.
· Energi
anak berlebihan. Energi yang dimiliki anak tidak seimbang dengan aktivitas yang
dilakukannya. Apabila anak lebih banyak dilarang untuk melakukan aktivitas
sementara energinya masih tetap ada dan anak tidak tahu cara menyalurkannya,
akan berakibat ia berperilaku yang agresif seperti memukul, menendang,
berteriak-teriak atau mencari lawan berkelahi dan perilaku agresif lainnya.
· Peniruan.
Factor lingkup sosial dan situasional anak adalah stimulus pembentuk agresi
(Koeswara, 1988). Semua perilaku tidak terkecuali agresif merupakan hasil dari
proses belajar dari lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung
(Bhawono, 1995). Diantara proses belajar dari lingkungan adalah prses imitasi
atau peniruan disebut juga modeling. Peniruan tidak dilakukan pada semua orang
tetaoi terhadap figure-figur tertentu seperti kakak, ayah, ibu atau teman
bermain yang memiliki perilaku agresif (Sears dkk, 1991). Selain figure-figur
tersebtu, televise juga merupakan contoh yang dapat mengajarkan perilaku
agresif dari tayangan-tayangan agresif yang disajikan (Seifer, 2003). Misalnya
tayangan film kekerasan, criminal (Gelfand, 1975). Dari film-film dan tayangan
lainnya yangmengandung unsure agresivitas, anak akan cenderung meniru model
yangdisaksikannya ditelevisi dan menjadi pemicu meningkatnya perilaku agresif
(Eron dan Huesmann dalam Chen, 1994).
· Merasa
terluka. Perasaan anak yang terluka entah kaena keal, marah, kecewa, sedih dan
ia tidak tahu bagaimana cara yang semestinya untuk mengungkapkan
perasaan-persaan itu, maka ia melampiaskannya dengan perilaku yang agresif.
·
Mencari
perhatian. Anak yang kurang mendapatkan perhatian dari orang-orang
disekelilingnya akan terus mencari perhatian. Kadang anak yang diberi sebutan
“nakal” langsung mendapat perlakan khusus baik oleh pendidik meupun orangtuanya
sedemikian rupa. Sementara anak yang berbuat baik justru tidak mendapat
perhatian. Maka ia akan menjadi anak yang nakal alias berbuat agresif untuk
memperoleh perhatian dari orang tuanya atau pendidiknya seperti anak lainnya,
sekalipun perhatian itu berwujud marah dan nasehat panjang lebar.
3.
Gejala-gejala yang tampak
Agresivitas anak berbentuk tindakan kekerasan secara fisik
dan ekspresi verbal yang keras, dan ekspresi wajah seta gerakan-gerakan yang
bersifat mengancam atau menumbuhkan perasaan tidak enak. Di lingkungan dan
dalam proses interaksi di TK, perilaku agresif dapat muncul secara sepihak dari
si anak, ataupun dalam konteks perilaku interaktif antara dua anak atau lebih.
Bagian berikut ini menguraikan unsur- unsur perilaku agresif yang penting untuk
diperhatikan.
Agresivitas palingjelas terlihat dalam perkelahian antar
anak TK, sekalipun peristiwa perkelahian sebenarnya sangat jarang diamati pada
anak-anak TK. Hal yang lebih umum dilihat adalah tindakan-tindakan yang
bersifat provokatif atau memicu timbulnya perilaku, misalnya memukul, mencubit,
mencakar, menggigit, mendorong, dan menjambak. Tindakan-tindakan provokatif ini
mungkin berlanjut ke perkelahian. Namun, yang lebih sering muncul adalah salah
satu pihak mengadikan siapa yang menyebabkan perilaku tersebut muncul kepada
pendidik TK.
Agresi yang bersumber pada perasaan frustrasi atau semarahan
mungkin muncul dalam berntuk ekspresi verbal, misalnya berteriakk-teriak atau
menjeri-jerit. Sebuah contoh adalah seorang anak yang ingin dibelikan jajanan
es, namun si ibu menolaknya, tindakannya yang mula-mula muncul dari si anak
adalah penolakan untuk masuk ke kelas. Mula-mula ia menarik-narik baju ibunya
yang tidak memberi respon, kemudian ia menjerit seraya menggigit tangannya dan
memukul-mukul ibunya. Mengkin berlanjut pada melemparkan tas sekolah atau
barang lain yang dapat diraihnya.
Agresivitas sering muncul dalam konteks bermain bersama.
Sebagai contoh, perilaku agresif pada anak terlihat saat anakk-anak bermain
puzzle bersama-sama. Tiba-tiba seorang anak merebut puzzle bagian temannya
kemudian membanting dan menginjak-injaknya. Ini mungkin karena salah satu
merasa bahwa mainan anak lain lebih menarik.
Agresivitas verbal. Mengumpat dengan kata-kata kasar dan
kotor ataupun memanggil panggilan yang buruk kepada temannya, misalnya, si
jelek, si kurus, atau si bodoh. Bagi anak yang memahami arti dari kata0kata
tersebtu, maka akan merasa tidak senang bahkan akan memberi tindakan balasan.
Salah satu jenis agresivitas yang penting mendapatkan
perhatian adalah perilaku menyakiti binatang atau mersak tanam-tanaman. Ada
kecenderungan pada anak-anak tertentu selalu menyakiti binatang, misalnya
dengan menendang, melempar dengan kayu, batu, ataupun dengan memukulnya.
Perilaku yang merusak tanaman adalah mencabut tanaman tersebut,
menginjak-injak, mematahkan dahan, merusak daun, bunga. Hal ini mengkin
berlatar belakang dari kehidupan keluarganya yang tidak menanamkan rasa sayang
kepada binatang maupun tubuhan, sehingga anak tidak memahami arti penting
keberadaan binatang maupun tubuhan bagi manusia.
Secara ringkas, wujud agresivitas anak
TK sangat bervariasi. Perilaku yang umum ditemukan adalah kekerasan fisik
seperti memukul, mencubit, mencakar, menggigit, mendorong, dan menjambak.
Selain itu anak mungkin berteriak-teriak dan menjeri-jerit, kemudian melempar
atau membanting mainan atau barang lainnya, menyakiti binatang atau merusak
tanam-tanaman, dan mengumpat dengan kata-kata kotor.
4.
Pengaruh agresivitas terhadap perkembangan anak
Secara umum agresivitas adalah permasalahan perilaku yang
bersifat tampak, tidak sebagaimana permasalahan internal seperti kecemasan atau
perasaan malu. Karenanya agresivitas memiliki dampak sosial yang luas.
Agresivitas seorang anak bisa berpengaruh terhadap situasi sosial di
lingkungannya. Di sisi lain, tanggapan lingkungan atas agresivitas juga
bersifat langsung dan mungkin sangat berpengaruh terhadap diri anak. Jika
perilaku agresif ini tidak segera ditangani dan mendapat perhatian dari orang
tua meupun pendidiknya, maka akan berpeluang besar menjadi perilaku yang
persistent atau menetap. Di lingkungan sekolah anak agresif cenderung ditakuti
dan dijauhi teman-temannya dan ini dapat menimbulkan masalah baru karena anak
terisolir dari lingkungan disekelilingnya. Perilaku agresif yang dibiarkan
begitu saja, pada saatnya remaja nanti akan menjadi juvenile deliquence yaitu
perilaku khas kenakalan remaja. Dengan demikian, perilaku agresif dari sejak
anak berusia dini amat berpengaruh pada perkembangan-perkembangan anak
selanjutnya.
5.
Intervensi
Ø Mengajarkan pada semua anak tentang
keterampilan sosial untuk berhubungan
dengan orang lain.
Ø Menciptakan lingkungan sekolah yang
menekan tingkt frustrasi atau tekanan pada anak, pemaksaan, situasi dimana anak
harus menunggu, diam atau ribut leblih dari 2 menit.
Ø Menggunakan program kegiatan belajar
dengan metode mendongeng, role play, dan sosiodrama yang menggunakan boneka
untuk mengajari tentang pemecahan masalah tanpa kekerasan fisik atau emosional.
Ø Memberikan kesempatan yang benyak
bagi anak-anak untuk mengekspresikan keinginan dan kesuatannya dengan cara-cara
tertentu, misalnya dengan memberikan pilihan-pilihan kegiatan yang dapat
mengurangi frustrasi yang dapat mendorong agresivitas anak.
Ø Bagi anakk-anak yang terus memukul
atau agresif tekankan bahwa hal tersebut sangat mengganggu atau menyakiti anak
lain, gunakan kalimat seperti, “kamu harus memberitahu yang lain apabila kamu
menginginkan sesuatu. Jika teman- temanmu tidak mau mendengarkan, maka mintalah
bantuan kepada guru”.
Ø Bila perilaku agresif anak
berkurang, segera diberi umpan balik beru[a pujian atau dengan kata-kata yang
mendorong ia akan terus mengurangi perbuatan agresifnya. Nyatakan dengan
perasaan sengan dan bangga akan perbuatannya.
Ø Bagi anak yang cenderung menjadi
korban dari anak-anak yang agresif, maka ajarkanlah keterampilan yang
dibutuhkan untuk memberla diri, misalnya dengan menghindar dari anak-anak yang
berperilaku agresif atau meminta bantuan kepada pendidik bila merasa dirinya
takut atau terancam.